BIOGRAFI PAHLAWAN REVOLUSI - PDF Flipbook

Nama : Sonia Najwa Insani No. : 33 Kelas : X AKL 2 Tugas E-book Simdig

101 Views
66 Downloads
PDF 6,037,195 Bytes

Download as PDF

REPORT DMCA


1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas
rahmat dan hidayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan buku digital yang
berjudul "Biografi Pahlawan Revolusi". Buku digital disusun untuk
memenuhi tugas Mata Pelajaran Simulasi dan Komunikasi Digital.

Selain itu, buku digital ini bertujuan menambah wawasan
tentang perjuangan, peran serta jasa dari para Pahlawan Revolusi
Indonesia yang gugur dalam peristiwa G30S PKI. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Rizkiana Zela Kartika selaku guru Mata
Pelajaran Simulasi dan Komunikasi Digital. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya
buku digital ini.

Penulis menyadari bahwa buku digital ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Oleh
karenanya, saran dan kritik yang bersifat membangun akan penulis
terima dengan senang hati agar penulis menjadi lebih baik lagi di masa
mendatang.

Penulis berharap semoga buku digital ini menambah wawasan
dan memberi manfaat bagi pembaca.

Batang, 17 November 2021

Sonia Najwa Insani

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. 2
DAFTAR ISI.......................................................................................... 3
1. Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani ............................................... 4
2. Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo ..................... 7
3. Mayor Jendral TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan.................. 9
4. Kapten Czi Anumerta Pierre Andries Tendean .............................. 12
PENUTUP............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 15

3

1. Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani

1. Kehidupan Awal Ahmad Yani
Ahmad Yani lahir di Jenar Purworejo provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19

Juni 1922. Dia merupakan anggota keluarga Wongsoredjo. Wongsoredjo ini
mendapatkan penghasilan di pabrik gula yang dikendalikan oleh pemilik Belanda.
Tahun 1927, Yani kemudian pindah bersama keluarganya menuju ke Batavia karena
tempat kerja ayahnya yang kini bekerja untuk General Belanda. Pada tahun 1940
ketika perang dunia masih berkecamuk, Yani memutuskan untuk menjalani program
wajib militer di tentara Hindia Belanda. Dia mempelajari topografi militer di Kota
Malang Provinsi Jawa Timur. Sayangnya pendidikannya harus terganggu ketika
pasukan Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942. Di waktu yang sama, Yani
sekeluarganya harus kembali lagi ke Jawa Tengah. Jepang pun meraih kemenangan
di Indonesia dan berhasil meruntuhkan Hindia Belanda. Pada tahun 1943, Yani
bergabung dengan satuan tentara bernama PETA yang disponsori Jepang dan
latihan militernya berada di Magelang. Setelah pelatihan ini selesai, Yani segera
mengikuti pelatihan sebagai pemimpin peleton PETA dan dipindahkan ke Bogor
provinsi Jawa Barat. Setelah pelatihan selesai, Yani dikirim lagi ke Magelang
menjadi instruktur.
2. Pengalaman dan Prestasi Militer Ahmad Yani

Setelah kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara republik yang masih
muda dan berjuang melawan Belanda. Selama bulan-bulan pertama setelah
Deklarasi Kemerdekaan, Yani membentuk batalion dengan dirinya sebagai
Komandan dan memimpin kepada kemenangan melawan Inggris di Magelang. Dan
Yani pun berhasil menghancurkan Inggris. Tidak berhenti di situ, Yani juga berhasil
mempertahankan Magelang ketika Belanda mencoba untuk mengambil alih
Magelang. Kepahlawanannya di Magelang ini membuat Yani mendapat julukan
“Juruselamat Magelang”. Selain itu, karier Yani yang menonjol selama periode
mempertahankan kemerdekaan ini adalah melakukan serangan gerilya yang
dikerahkan pada awal 1949. Serangan ini berguna unutk mengalihkan perhatian
Belanda agar mereka lengah. Selagi mereka lengah, Letnan Kolonel Soeharto
mempersiapkan pasukannya untuk Serangan Umum 1 Maret yang mengarah

4

langsung pada Yogyakarta. Peperangan terus berlangsung hingga Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia.

Setelah perang mempertahankan Indonesia selesai, Yani pindah ke Tegal
provinsi Jawa Tengah. Yani beraksi lagi pada tahun 1952 ketika dia dipercaya untuk
menghadapi Darul Islam, sebuah kelompok pemberontak yang mencoba untuk
mendirikan sistem pemerintahan teokrasi di Indonesia. Yani membentuk satuan
pasukan khusus yang bernama The Banteng Raiders. Banteng Raiders menghajar
Darul Islam selama 3 tahun ke depan dan terus menderita kekalahan satu demi satu.
Perang melawan Darul Islam selesai pada tahun 1955. Pada Desember 1955,Yani
berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar ilmu Komando dan Staf Umum College,
Fort Leavenworth di Kansas. Yani baru kembali pada tahun 1956 dan dia
dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta. Di Markas Besar ini, Yani
menjadi anggota staf Umum untuk Abdul Haris Nasution. Selain itu juga menjabat
sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat. Beberapa tahun kemudian
diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk urusan Organisasi dan
Kepegawaian.

Pada Agustus tahun 1958, dia meluncurkan Operasi 17 Agustus untuk
menyelesaikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia yang memberontak di
Sumatra Barat. Pasukan Yani berhasil menguasai kembali Bukittinggi dan Padang.
Setelah misi berhasil jabatannya diangkat pada tanggal 1 September 1962 dia
diangkat menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2. Baru pada tanggal 13 November
1963, Yani diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat menggantikan
Jenderal Nasution. Di masa itu, sistem pemerintahan sedikit berbeda dengan
sekarang. Sehingga ketika diangkat, Yani juga sekaligus menjadi anggota kabinet.

3. Peran Ahmad Yani pada Peristiwa G30S PKI
Ketika masih berkuasa di awal tahun enam puluhan, gerakan politik Bung

Karno cenderung lebih condong ke Partai Komunis Indonesia atau biasa disebut PKI.
Yani adalah orang yang sangat anti-komunis dan tentunya Yani mulai waspada pada
perkembangan PKI yang sangat pesat di waktu itu. Kebenciannya terhadap komunis
semakin bertambah ketika PKI memberikan dukungan untuk membentuk angkatan
kelima. Angkatan kelima adalah angkatan setelah tiga angkatan TNI dan polisi yaitu
mempersenjatai buruh dan tani. Terlebih lagi Bung Karno, di sisi ideologi, mencoba
untuk memaksa ideologi Nasionalis-Agama-Komunis atau biasa disebut dengan
Nasakom sebagai doktrin di militer.

Yani bersama Nasution terus menunda ketika Bung Karno memerintahkan
mereka untuk membuat rencana angkatan kelima pada tanggal 31 Mei 1965. Yani di
malam hari tanggal 30 September itu menemui beberapa tokoh. Salah satunya
adalah Jendral Basuki Rahmat yang merupakan komandan divisi di provinsi Jawa
Timur. Jendral Basuki Rahmat mengungkap laporan dan keprihatinan akan adanya
peningkatan aktivitas kaum komunis di Jawa Timur. Yani memuji laporan dari
Jendral Basuki Rahmat. Sambil mengakhiri pertemuan, Yani meminta agar Jendral
Basuki Rahmat menemani dirinya di pertemuan esok hari untuk membahas hal ini
dengan presiden. Pada pagi hari 1 Oktober 1965, sejarah PKI pun memulai aksinya.
Gerakan 30 September dimulai dan mendatangi rumah tujuh anggota staf umum
Angkatan Darat untuk menculik mereka. Ahmad Yani termasuk staf Angkatan Darat
yang ada di daftar para penculik. PKI mengirim satu tim dari sekitar dua ratus orang
ke rumah Yani yang berada di Jalan Latuhahary No. 6 di daerah Menteng di Jakarta
Pusat. Yani memiliki sebelas tentara yang menjaga rumahnya. Istri Yani lalu
memberitahu bahwa seminggu yang lalu ada tambahan sebanyak enam orang
ditugaskan kepadanya. Para tentara ini di bawah pimpinan Kolonel Latief.
Sepengetahuan Yani, Latief merupakan salah satu dari beberapa komplotan utama
dalam Gerakan 30 September.

5

Meskipun kabarnya sudah ada orang tambahnya, istri Yani berkata bahwa dia
tidak melihat kemunculan para tentara tambahan. Kondisi rumah cenderung sepi.
Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumah. Istri Yani tidak ada di rumah karena
dia sedang ada pesta ulang tahunnya dengan para teman dan kerabat. Istri Yani
bercerita bahwa ketika dia keluar rumah di pukul 23.00, dia menangkap ada seorang
yang duduk-duduk di seberang jalan. Seperti sedang mengawasi seakan menjaga
rumah. Istri Yani tidak memikirkan apapun atau tidak curiga sedikitpun pada saat
itu. Baru setelah peristiwa tragis itu istri Yani mulai curiga. Selain itu yang
mencurigakan adalah adanya beberapa panggilan telepon jam 9 pada malam 30
September yang diiringi oleh keheningan aneh. Panggilan telepon aneh itu terus
berbunyi hingga pukul satu dini hari dan istri Yani merasakan adanya firasat yang
sangat buruk di malam 30 September itu.

Para penculik yang datang ke rumah harus membawa Yani karena Bung
Karno memanggil. Yani menyanggupi dan mengatakan bahwa dirinya membutuhkan
waktu sebentar untuk mandi dan berganti pakaian. Pasukan penculik yang datang
disebut dengan Pasukan Pasopati. Penculik menolak permintaan Yani dan tentu Yani
sangat marah atas sikap mereka yang kurang ajar lalu menampar salah satu penculik
dan menutup pintu rumahnya. Salah seorang penculik kemudian menembak dan
berhasil membunuh Yani. Tubuh Yani diangkut ke daerah Lubang Buaya di
pinggiran Jakarta. Sang Jendral diseret bersama dengan para jenderal yang diculik
lalu disembunyikan di sebuah sumur yang sudah tidak terpakai.

4. Akhir Hayat Ahmad Yani
Tubuh Yani dan para korban Gerakan 30 September yang lain diangkat dari

sumur pada tanggal 4 Oktober dan tanggal 1 Oktober dijadikan sebagai sejarah hari
Kesaktian Pancasila. Pada 5 Oktober dilakukan upacara khas kenegaraan lalu
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Yani dan para korban Gerakan
30 September resmi dinyatakan sebagai pahlawan Revolusi pada hari yang sama
sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965. Secara anumerta,
pangkatnya dinaikkan dari Letnan Jenderal ke Jenderal Bintang Empat.

Yayu Rulia Sutowiryo, istri Ahmad Yani mengajak para anaknya pindah
rumah setelah suaminya gugur di peristiwa Gerakan 30 September. Istri Yani juga
berkontribusi untuk mengubah rumah mereka menjadi museum publik yang
membahas banyak hal khususnya penyerangan terhadap Yani pada malam yang
mencekam tahun 1965 itu. Bahkan hingga kini, lubang peluru di dinding dan pintu
masih ada. Keadaan interior rumah dan perabotannya masih sama dengan kondisi
waktu itu. Ini untuk mengenang Jenderal Ahmad Yani sang pahlawan revolusi.
Selain diangkat sebagai pahlawan revolusi dan didirikan museum, banyak jalan di
kota yang dinamai Jalan Ahmad Yani. Tidak hanya jalan, nama sang pahlawan
revolusi juga diabadikan menjadi nama dari Bandar Udara Internasional di
Semarang.

6

2. Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo

1. Kehidupan Awal Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo lahir pada 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Ia

menyelesaikan sekolahnya sebelum invasi Jepang pada tahun 1942, dan selama
masa pendudukan Jepang, ia belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan
di Jakarta. Dia kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, namun
mengundurkan diri pada tahun 1944.
2. Karier Militer Sutoyo Siswomiharjo

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo
bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal
bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia.
Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, komandan
Polisi Militer. Ia terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan pada
tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang
posisi ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi asisten atase militer di
kedutaan besar Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan
Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat
menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman
hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama.
3. Kematian Sutoyo Siswomiharjo

Pada dini hari 1 Oktober 1965, eksekutor Gerakan 30 September (G30S) yang
dipimpin oleh Sersan Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan
Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Anggota gerombolan masuk melalui garasi di
samping rumah. Mereka memaksa pembantu di rumah itu untuk menyerahkan
kunci, sehingga mereka dapat masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam, para
penculik ini mengatakan bahwa Sutoyo dipanggil oleh Presiden Soekarno. Sutoyo
kemudian dibawa ke markas mereka di Lubang Buaya. Di sana, ia dibunuh dan
tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur yang tidak terpakai. Mayatnya ditemukan

7

pada 4 Oktober. Jenazah Sutoyo pun disemayamkan sehari setelahnya. Sutoyo
secara anumerta atau tindakan yang dilakukan setelah seseorang meninggal dunia,
dipromosikan menjadi Mayor Jenderal. Ia juga dikukuhkan menjadi Pahlawan
Revolusi Indonesia.

8

3. Mayor Jendral TNI Anumerta Donald Isaac
Panjaitan

1. Masa Muda D.I. Panjaitan
Donald Isaac Panjaitan lahir pada tanggal 19 Juni 1925 di Balige, Sumatera

Utara. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah
Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah
Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika
masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia
ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya.

Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda
lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI.
Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi
Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948.
Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara
Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia
diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda II, Indonesia
pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat
menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan.
Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai
Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai
Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada
tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and
General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV
Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang
diembannya saat peristiwa Gerakan 30 September terjadi.

Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia membongkar rahasia pengiriman
senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa
senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan
dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging

9

Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan
persiapan untuk mempersenjatai angkatan kelima.

2. Karier Militer D.I. Panjaitan
D.I Pandjaitan memulai karier militernya saat ia mengikuti pendidikan

Giyugun di Bukitinggi, Sumatra Barat dan lulus dengan pangkat Shoi (Letnan Dua),
kemudian ia ditugaskan di Pekanbaru sampai indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Pasca proklamasi kemerdekaan, Pandjaitan bergabung dengan
TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang nantinya menjadi TNI (Tentara Nasional
Indonesia) dan menjabat sebagai Komandan Batalyon I merangkap Kepala Latihan
Resimen IV Divisi III / Banteng hingga panda puncaknya menjabat sebagai Asisten
IV Menteri / Panglima Angkatan Darat.

1. Shodancho (Komandan Pleton) Giyugun di Pekanbaru (1944-1945).
2. Anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Riau (1945).
3. Komandan Batalyon I merangkap Kepala Latihan Tentara Keamanan Rakyat

(TKR) Resimen IV Divisi IX / Banteng (1945-1947).
4. Kepala Staf Resimen IV Riau Utara Divisi IX / Banteng (1947-1948).
5. Kepala Bagian IV / Supply Komando Tentara Teritorium Sumatra merangkap

Kepala Pusat Perbekalan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
(1948-1949).
6. Kepala Bagian II / Operasi Komando Tentara Teritorium Sumatra Utara
kemudian menjadi KO TT I / Bukit Barisan (1949-1952).
7. Kepala Bagian III / Organisasi KO TT I / Bukit Barisan (1950-1952).
8. Wakil Kepala Staf merangkap Pelaksana Kepala Staf TT II / Sriwijaya (1952-
1956).
9. Mendapat tugas mengikuti pendidikan di Kursus Militer Atase Gelombang I
dan Senior Officer Courses of the Infantry School, India (1956).
10. Asisten Atase Militer di Bonn, Jerman Barat (1956-1960).
11. Atase Militer di Bonn, Jerman Barat (1960-1962).
12. Asisten IV Menteri / Panglima Angkatan Darat (1962-1965).
13. Perwira Siswa di Associate Courses pada U.S Army General and Command
Staff College (1963-1964).
14. Tewas dalam Peristiwa G30S/PKI dan kemudian dianugerahi kenaikan
pangkat menjadi Mayor Jenderal TNI Anumerta (1965).

Kepangkatan :
1. Mayor (30 Oktober 1945- 30 Oktober 1948).
2. Kapten (30 Oktober 1948-1 Oktober 1952), Pangkat diturunkan karena adanya
Kebijakan Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi) TNI.
3. Mayor (1 Oktober 1952-1 Juni 1956).
4. Letnan Kolonel (1 Juni 1956-1 Juli 1960).
5. Kolonel (1 Juli 1960-1 Juli 1963)
6. Brigadir Jenderal TNI (1 Juli 1963-5 Oktober 1965).
7. Tewas dalam peristiwa G30S / PKI (30 September / 1 Oktober 1965).
8. Mayor Jenderal TNI Anumerta (5 Oktober 1965).

3. Akhir Hidup D.I. Panjaitan
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, eksekutor Gerakan 30 September atau G30S

memaksa masuk ke kediaman Pandjaitan di Jalan Hasanudin, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan. Mereka menembak dan menewaskan salah satu pelayan yang
sedang tidur di lantai dasar milik Pandjaitan. Para penculik ini lalu meneriakkan
nama Pandjaitan dan memintanya untuk segera turun. Pandjaitan yang mendengar
teriakan tersebut segera mengambil pistolnya. Demi menjaga keselamatan

10

keluarganya, Pandjaitan pun terpaksa turun untuk menemui para penculik tersebut
dengan memakai pakaian militer. Ketika Pandjaitan sedang berdoa, kepalanya
dipukul oleh anggota gerombolan. Setelah terjatuh, tembakan pun diarahkan ke
kepala Pandjaitan. Begitu Pandjaitan tersungkur, ia segera dimasukkan ke dalam
truk dan dibawa pergi ke Lubang Buaya dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
Pandjaitan dibunuh lantaran ia dituduh tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan
menggulingkan Soekarno. Beberapa hari kemudian, Pandjaitan bersama perwira
lainnya ditemukan di sebuah sumur tua di Lubang Buaya. Jenazahnya pun kemudian
dibawa pada 5 Oktober 1965. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
Jakarta. Di hari yang sama, Pandjaitan yang dianumertakan sebagai Mayor Jenderal
juga diangkat menjadi Pahlawan Revolusi Indonesia.

11

4. Kapten Czi Anumerta Pierre Andries Tendean

1. Kehidupan Awal Pierre Tendean
Pierre Andries Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean,

seorang dokter yang berdarah Minahasa, dan Maria Elizabeth Cornet, seorang
wanita Belanda yang berdarah Prancis, pada tanggal 21 Februari 1939
di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga
bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan
Rooswidiati. Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP
dan SMA di Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi
tentara dan masuk Akademi Militer, namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang
dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur. Karena tekadnya yang kuat, ia pun
berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD)
di Bandung pada tahun 1958. Sewaktu menjadi taruna, Pierre pernah ikut tugas
praktik lapangan dalam operasi militer penumpasan pemberontakan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera.
2. Robert Wagner dari Bumi Panorama

Wajah blasteran Asia-Eropa Pierre yang rupawan rupanya membuat dirinya
mendapatkan julukan dari kawan-kawannya selama melaksanakan pendidikan di
akademi militer. Pierre mendapat julukan sebagai Robert Wagner dari Bumi
Panorama. Robert Wagner adalah seorang aktor dari Amerika Serikat. Selain itu,
Pierre juga mendapat julukan "patona" dari para seniornya di akademi berkat
wajahnya yang tampan itu. Dengan tinggi 171 cm, Pierre juga kerap kali menjadi
andalan tim olahraga basket, voli, dan tenis. Pada tahun ketiga di akademi, Pierre
terpilih sebagai komandan batalyon korps taruna remaja. Kemudian pada tahun 1961,
Pierre pun berhasil menjadi salah satu dari 144 orang sersan mayor yang dilantik
menjadi letnan dua. Saat itu juga bertepatan dengan digaungkannya Operasi
Trikomando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno untuk membebaskan Irian
Barat kembali ke wilayah Idonesia. Sebagai letnan dua, Pierre pun menunaikan tugas
pertama di Kodam I Bukit Barisan Sumatera Utara. Di penugasan pertama inilah,

12

Pierre bertemu dengan sang kekasih yang gagal dipinangnya, Rukmini Chamim.

3. Karier Militer Pierre Tendean
Karier awalnya di bidang militer dimulai dari menjadi Komandan Pleton

Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, ia
melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Intelijen Negara di Bogor. Tamat sekolah
intelijen, ia langsung ditugaskan oleh Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat
(DIPIAD).

Saat itu ia ditugaskan untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan
dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Konfrontasi tersebut dikenal
dengan istilah Dwikora. Ia bertugas untuk memimpin sekelompok relawan di
beberapa daerah untuk melakukan penyusupan ke Malaysia. Sejak saat itu
prestasi Pierre Tendean di bidang militer mulai menjanjikan. Dibuktikan dengan
setidaknya ada tiga jenderal yang menginginkan Pierre menjadi ajudannya, yaitu
Jenderal Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Kadarsan. Namun Jenderal
Nasution bersikeras menginginkan Pierre sebagai ajudannya. Hingga pada tanggal 15
April 1965, Pierre mulai dipromosikan menjadi Letnan Satu (Lettu). Ia juga menjadi
pengawal pribadi Jenderal Abdul Haris Nasution, menggantikan Kapten Manullang
yang gugur saat menjaga perdamaian di Kongo.

4. Akhir Hayat Pierre Tendean
Pada 30 September 1965, Pierre sedianya sudah mengajukan cuti libur untuk

merayakan ulang tahun ibundanya, Maria Elizabeth Cornet, di Semarang pada
keesokan harinya.Namun, ia lebih memilih melaksanakan tugas sebagai ajudan A.H
Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40 Jakarta Pusat. Tak disangka bahwa hari
itu menjadi hari terakhir Pierre bertugas sebagai ajudan. Kepulangan untuk
merayakan ulang tahun sang bunda dan rencana bahagia untuk menikahi kekasih
hatinya, Rukmini, bulan Desember pun tak terlaksana. Pasukan Cakrabirawa datang
menyerbu kediaman Jenderal Nasution untuk melakukan penculikan.

Pierre Tendean yang saat itu sedang beristirahat di ruang tamu kediaman
Jenderal Nasution sontak terbangun dan mendatangi sumber kegaduhan.
Ia langsung disambut dengan todongan senapan oleh pasukan Cakrabirwa. Pierre
Tendean yang diduga oleh Pasukan Cakrabirawa sebagai Jenderal Nasution langsung
diculik dan dibawanya ke Lubang Buaya. Selain menculik Pierre Tendean, nyawa
Ade Irma Suryani Nasution, putri Jenderal Nasution tak terselamatkan karena
peluru yang menembus tubuhnya. Pierre yang kerap kali dipanggil "Om" oleh anak-
anak Jenderal Nasution tanpa sengaja berfoto bersama Ade Irma Suryani pada 1 Juli
1965, di acara pernikahan adik Pierre, Rooswdiati Tendean di Jakarta. Tak ada yang
menyangka pula bahwa momen tersebut juga menjadi yang terakhir bagi Pierre dan
keluarga sebelum diculik Cakrabirawa.

Diorama yang terletak di samping gedung utama Museum Dr. A.H Nasution
menjelaskan bagaimana kronologi penangkapan Kapten Pierre Tendean oleh
Pasukan Tjakrabirawa. Nampak jelas bahwa Kapten Pierre Tendean yang terkepung
oleh senjata Tjakrabirawa. Diceritakan bahwa Kapten Pierre Tendean selaku ajudan
Jenderal Nasution melindungi pemimpinnya dengan berkata "Saya Jenderal AH
Nasution" . Pierre pun dibawa ke Lubang Buaya bersama bersama keenam perwira
tinggi TNI lainnya yang kemudian dibunuh secara keji dan dimasukkan ke dalam
sumur berdiameter 75 cm dengan posisi kaki di atas. Pierre Tendean meninggal di
usianya yang menginjak 26 tahun. Duka mendalam pun dialami ibunya dan juga
calon istri bernama Rukmini Chaimin.

13

PENUTUP

Demikianlah buku digital tentang “Biografi Pahlawan Revolusi”
yang saya tulis. Semoga menjadi cerminan bagi penerus bangsa untuk
tetap mempertahankan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dan semoga generasi bangsa dapat lebih mencintai bangsanya
sendiri. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan buku digital ini.
Semoga Bermanfaat.

14

DAFTAR PUSTAKA

Website :
Biografi Ahmad Yani
https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Yani#:~:text=Jenderal%20TNI%
20Anumerta%20Ahmad%20Yani,untuk%20menculik%20dia%20dari%
20rumahnya.
https://tirto.id/m/ahmad-yani-gr
https://historia.id/militer/articles/profil-pahlawan-revolusi-ahmad-
yani-jenderal-brilian-pilihan-sukarno-yang-berakhir-tragis-vxgGJ
https://sejarahlengkap.com/tokoh/biografi-ahmad-yani

Biografi Sutoyo Siswomiharjo
https://id.wikipedia.org/wiki/Sutoyo_Siswomiharjo
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/19/131430579/s-
siswomihardjo-kehidupan-karier-militer-dan-akhir-hidup?page=all

Biografi D.I. Panjaitan
https://id.wikipedia.org/wiki/D.I._Pandjaitan
https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/19/123653879/di-
pandjaitan-masa-muda-karier-militer-dan-akhir-hidup?page=all

Biografi Pierre Andries Tendean
https://id.wikipedia.org/wiki/Pierre_Tendean
https://nasional.kompas.com/read/2021/10/01/15552731/pierre-
tendean-sang-ajudan-setia-sampai-mati-lindungi-jenderal-ah-
nasution?page=all
Simulasi dan Komunikasi Digital SMK Kelas X

15


Data Loading...