Akar air dan yang jatuh - PDF Flipbook

Works and Choreographer by Alisa Soelaeman

104 Views
51 Downloads
PDF 18,382,806 Bytes

Download as PDF

REPORT DMCA


Awardee of SEACN3 Challenge Award 2021

Akar air dan yang jatuh

Alisa Soelaeman



Awardee of SEACN3 Challenge Award 2021

Akar air dan yang jatuh

Alisa Soelaeman

Dramaturg

Adinda Luthvianti

Artistic

Vicky Saputra

: Seni Tari Indonesia



Kata Pengantar

Hallo, saya Alisa, saya akan mengajak teman-teman
untuk lebih dekat dengan karya saya “ Akar Air Dan
Yang Jatuh”

Gagasan karya ini sudah saya “kulum” sejak 2019
akhir. Bagaimana saya mengunyah, mencerna dan
menemukan banyak hal sampai jadi karya?

Bagaimana keterlibatan Vicky (teman kolaborasi saya)
sabagai artistik?

Oh ya, saya berterima kasih kepada ibu Adinda
Lutvianti, sebagai dramaturg pada karya saya,
sekaligus teman diskusi, ngobrol ke mana-mana,
berdebat, ngambek, dan mesra sekaligus selama
saya residensi di studiohanafi.

Yuk kita buka lembaran perjalan itu.

Salam,
Alisa Soelaeman







Catatan Proses Naratif

“AKAR” – Oleh Alisa Soelaeman

Akar: Ide Gagasan dan Konsep Karya

Pertama terpikir oleh saya mengenai ide dari sebuah akar adalah
ketika saya mengamati sebuah pohon sukun yang besar, saya sedang duduk
di dalam art space Studio Hanafi. Saya mengamati akar pohonnya melalui
jendela, bagaimana akar yang merambat telah mengokohkan pohon-pohon
yang tinggi. Saya ikut merefleksikan kedalam diri, melihat akar imajiner yang
ada di dalam diri, yang telah membentuk diri saya pada saat ini.

Saat itu saya sedang bertempat di Studio Hanafi dengan tujuan
yang berbeda. Singkatnya, Ayah saya adalah seorang pelukis dan saya
menggemarinya semenjak kecil. Hampir setiap hari di masa bersekolah dilalui
dengan menggambar dan melukis, namun ketika saya memutuskan untuk
berfokus kepada tari, sedikit demi sedikit, dunia seni rupa ditinggalkan.

Tahun 2020, pandemi menyerang dan saya, seperti semua orang, dipaksa
untuk berdiam dirumah. Secara spontan, ide untuk melukispun muncul kembali
dengan awal pikiran untuk membunuh waktu, menunggu ketidakpastian. Suatu
hari, ketika uni Hartati berkolaborasi dengan mas Hanafi, ibu Adinda dan mas
Heru dalam karyanya, saya ikut berpartisipasi dan menjalani proses tersebut
di Studio Hanafi. Betapa terpukaunya saya melihat lukisan-lukisan mas Hanafi
yang dipajang di sekitar art space dan di rumahnya, juga merasakan suasana
di Studio yang sunyi. Singkat kata, momen tersebut adalah permulaan dari
karya ini. Saya semakin sering berkunjung kesana untuk belajar melukis, pada
akhirnya saya menjalani residensi lukis atau biasa disebut dengan menyantrik.
Saya belajar banyak hal, tidak hanya tentang kesenian, tetapi juga mengenai
kehidupan. Pada saat itu, saya ingat kolega saya, Irfan Setiawan juga sedang
proses berkarya di tempat yang sama. Kami saling mendukung satu sama
lain, sehingga ibu Adinda bertanya, “Alisa nggak berkarya tari?”

Tidak terlalu lama saya menjalani residensi lukis sampai akhirnya saya
melahirkan satu karya lukisan. Hari itu saya sangat senang dan bangga, karena
pada sore hari, saya menandatangani lukisan pertama saya yang dibimbing
oleh mas Hanafi. Rasa bangga karena telah dianggap ‘lulus’ oleh beliau,
membuat saya merasa sangat senang. Tak lama setelah momen tersebut,
saya teringat akan akar. Tanpa adanya Ayah saya, saya tidak akan bisa melukis
ataupun berkarya.

Dalam diskusi pertama saya dengan ibu Adinda, beliau membantu
mengarahkan bentuk akar ke dalam pemahaman “akar keturunan”, dimana
saya sebagai seorang anak berketurunan darah Jawa-Sunda lahir dan besar
di kota urban, Jakarta. Segala pemahaman kultur, bahasa dan kebiasaan
yang berakar Sunda hampir hilang di tubuh dan pola hidup saya. Seperti
ibarat akar yang masih ada namun sudah tidak terlihat dan merambat entah
kemana. Beliau lalu mendorong saya untuk menelusuri tentang Desa Cipaku,
Desa yang telah ditenggelamkan akibat proyek pemerintah, untuk kebutuhan
masyarakat Sumedang. Tak lama setelah itu, beliau juga membekalkan segala
pengetahuan yang saya butuhkan tentang tempat yang akan saya tuju.

Sumedang adalah kampung halaman Ayah saya dan semua kakek buyut saya, orang
Sunda. Beberapa catatan menuliskan bahwa Sumedang adalah awal dari perjalanan sejarah
dan peradaban suku Sunda Kuno. Cerita tentang hilangnya ruang asli membuat saya grogi,
ruang asli yang tenggelam atas nama pembangunan waduk Jatigede, Cipaku.

Semakin jauh saya membaca teks tentang Sumedang dan ruang penutupannya, muncul
pertanyaan yang melambung; bagaimana peradaban dan manusia dipindahkan dari tempat
asalnya (situs) dan kemudian direlokasi? Bisakah tradisi bertani ditukar dengan memancing di
waduk? Juga bagaimana makna dan nilai sejarah sangat bergantung pada tempatnya (ruang
hidup). Banyak pertanyaan memburu, saya berjalan perlahan melalui berbagai teks.

Langkah saya semakin kuat saat residensi online dari Kelola dengan narasumber Daniel,
Arco dan Helly yang menurut saya mampu memicu kreativitas untuk mewujudkan keseruan
tersebut. Saya ingin menelusuri akar itu, yaitu identitas Suku Sunda Kuno dengan tubuh saya,
dengan kehadiran saya saat ini dan identitas ganda saya. Setelah acara selesai, saya langsung
berangkat ke Sumedang.

Di Sumedang, saya tinggal bersama bibi dan paman saya. Lalu menyadari bahwa teks
menjadi semakin hidup. Ketetapan bacaan saya terkonfirmasi, begitu pula memori kolektif
masyarakat sekitar Waduk Jatigede, lengkap dengan mitosnya. Waduk Jatigede bukan sekadar
ruang air raksasa untuk irigasi hingga ujung perbatasan Jawa Barat di Cirebon, tapi juga
tempat yang tenggelam. Ketika air tinggi, tempat tersebut menghilang, dan ketika air surut
puing-puing muncul; Terlihat ruang hidup (kota) ditinggalkan dengan kawat dan tulang besi
dengan dinding utuh, sebuah nama yang bertuliskan “SD 1 CIPAKU” dengan jelas bercat biru,
huruf emas kusam, dan kelas-kelas di suatu tempat di sekitarnya. Lubang kuburan menganga,
meninggalkan bau manusia, satu atau dua teks masih tertancap sama sekali dalam kalimat.

Saat air surut, warung-warung berdiri, menampung banyak kunjungan untuk melihat
“kota mati” yang muncul, semacam wisata ziarah. Beberapa dari mereka berdoa untuk kuburan
keluarga yang hilang, beberapa berfoto, beberapa membuat mereka marah dan sedih. Dan
ketika pasang naik, itu benar-benar menjadi waduk raksasa, dengan menunggu kapan “kota
mati” akan muncul kembali.

Kontak pertama saya dengan “akar” (identitas keluarga, budaya, ruangsosial, sejarah
dan kampong halaman ayah saya) terjadi pada bulan Desember 2020 di Waduk Jatigede,
Sumedang. Di perahu motor, saya merasa bahwa saya tidak sepenuhnya di atas air, tetapi juga
di bawah air, mengambang, jauh sekali, imajinasi saya membuat jembatan antara naik turun,
saya berjalan di antara itu.

“Akar” saya berada di bawah Waduk Jatigede beserta 25 situs peninggalan prasejarah
(megalitik), 28 desa di lima kecamatan, lebih dari 16.000 kepala keluarga yang terusir dan
tidak sempat memindahkan semua kuburan, serupa punden berundak, leluhur Sunda kuno,
peradaban besar, sains, kepercayaan animisme, dinamisme, mitos, dan sastra. Semua lenyap,
lesap bersama akarnya.

Beberapa situs dipindahkan ke atas, salah satunya Situs Deungdeum (direlokasi) ke
Cipaku, Darmaraja, Sumedang. Kuncen (penjaga situs) meminta saya untuk berdoa bersama
bagi arwah leluhur. Saya tertegun cukup lama, merunduk ke bawah waduk Jatigede, atau ke
atas waduk, atau hanya menatap situs? Saya berdoa entah menghadap kemana. Pada akhirnya,
menghubungkan yang di bawah ke atas, ke masa kini membuat tubuh merasakan kecemasan
yang ganjil.

Namun, itu semua membawa saya pada ide tentang ruang ‘di atas’ dan ‘di bawah’. Saya
mulai melihat bayangan tentang kedua ruang tersebut. Rakit yang berdiri di atas permukaan air
yang memisahkan ruang menjadi lebih kuat; melihat kebawah (masa lalu) dari atas (masa kini).
Lalu merasakan dan menyadari apa yang ada di kaki saya, di bawah saya setiap langkahnya,
sembari memikirkan tentang apa yang ada di bawah memengaruhi yang di atas. Saya ingat
ketika seorang nelayan sedang bekerja di dalam air, seperti ada aktivitas di atas kota mati.
Mereka menginjaknya dengan hati-hati untuk menemukan kehidupan di atas kematian, masa
lalu. Kepala melihat ke bawah, mencari namun terlihat sebuah refleksi. Di antaranya, ada
keheningan dan ketenangan yang muncul meski bukan berarti selalu aman dan sinkron.

Tulisan diatas merupakan hasil dari riset pertama yang saya lakukan pada
bulan Desember tahun 2020 lalu. Berdasarkan beberapa catatan yang saya
dapatkan, telah dirangkum dan disusun kembali oleh dramatug, Ibu Adinda.

Relasi dan kaitan karya ini dengan konteks sosial, politik dan budaya terhadap publik adalah,
bahwa ruang sejarah leluhur mereka dihapus paksa, dan digantikan menjadi bendungan, juga
kepentingan publik saat ini. Diantaranya untuk pertanian, sumber daya listrik dan juga irigasi.
Maka, kumpulan memori tentang ruang tinggal orang tua/leluhur dan kuburannya menjadi

persoalan saat ini. Kuburan bagi suku Sunda adalah nilai moral, religi dan kebudayaan.
Secara politik, waduk jatigede sudah direncanakan dari jaman Soekarno namun masyarakat
adat menentang. Dilanjutkan jaman Soeharto tetap juga ditentang. Presiden terus berganti
sampai akhirnya tahun 2015 diresmikan kembali penggunaannya dengan presiden Jokowi.
Mengapa masyarakat menentang? Karena situs sejarah suku sunda kuno di Cipaku adalah area
yang ditenggelamkan.

Motivasi akar memang berangkat dari kondisi sosial dan politik yang terus berlangsung. Sebab
dari judul akar ini adalah karena nenek moyang saya dari pihak Ayah berasal dari Cipaku yang
kampungnya sudah tenggelam.

Namun, ada sedikit penekanan dimana saya ingin lebih berfokus ke dalam diri dan tubuh.
Karena sampai sekarang relasinya dengan saya terasa bersama jutaan orang lainnya. Yaitu
perasaan kehilangan yang sifatnya abstrak. Setiap orang diperbolehkan untuk menabur bunga
kepada tubuh mereka sendiri sebagai ziarah atas kehilangan. Tubuh saya mungkin adalah
tubuh ribuan orang yang kehilangan akar seperti saya.

Jika boleh jujur dan berbicara tentang perasaan, ketika saya naik perahu menelusuri waduk
Jatigede, saya tahu leluhur saya ada dibawah saya. Saya dihadapkan dengan sebuah realita
dimana ada nilai keadaban budaya sunda yang dilanggar, sangat terasa oleh saya (secara
logika saya berjalan, menginjakkan kaki di atas kuburan keluarga saya). Dan saya tidak paham
kenapa politik bisa merampas hak dan ruang budaya Sunda.

Saya cukup termenung ketika karya ini dipertanyakan relasinya terhadap
konteks politik, sosial dan budaya. Pada awalnya, saya rasa karya ini tidak
perlu terlalu memperjelas ataupun diberi penekanan yang lebih. Karena
secara keseluruhan, set artistik dan tubuh, telah hadir karena konteks-konteks
tersebut.

Begitu pula relasinya dengan publik. Seperti yang tertulis diatas, Setiap
orang diperbolehkan untuk menabur bunga kepada tubuh mereka sendiri
sebagai ziarah atas kehilangan. Tubuh saya mungkin adalah tubuh ribuan
orang yang kehilangan akar seperti saya. Kalimat tersebut sudah lebih dari
cukup sebagai relasi kepada publik atau para audiens. Yang tertulis diatas
merupakan hasil rangkuman dari diskusi antara saya dan dramaturg saya, ibu
Adinda, setelah saya mengekspresikan kegelisahan saya terhadap pertanyaan
tersebut.



Kolaborator, Riset Artistik, dan Riset Memori Tubuh

Pertemuan saya dengan Vicky Saputra, seorang perupa muda yang
beresidensi di Studio Hanafi, belum cukup lama. Kami pertama bertemu di
bulan Desember, berdekatan dengan kepergian saya ke Sumedang. Ketika
saya berhasil menerima hibah ini, terpikir oleh saya untuk mengajak Vicky
sebagai kolaborator artistik. Saya pikir Vicky memiliki potensi serta pandangan
yang kuat mengenai seni rupa, ketika saya pertama melihat karya lukisnya di
Studio Hanafi.

Pertemuan untuk membahas karya terasa cepat karena Vicky langsung
menyerap konsep dengan mudah. Ia memberikan penawaran-penawaran yang
menarik dengan membuat beberapa sketsa set karya. Beberapa pertemuan
selanjutnya, kami mengembangkan ide dari apa yang sudah ada dan bersepakat
untuk membuat set akuarium yang besar serta menggunakan air sebagai ide
artistiknya. Ada juga ide untuk menggunakan rakit, sebagai pemisah antara
kehidupan atas dan bawah, dan juga untuk memunculkan tubuh yang sedang
berefleksi. Namun, secara garis besar, air menjadi utama, bahkan penekanan
dalam karya ini.

Saya kembali melakukan riset artistik pada awal bulan Juni 2021. Pada
riset kedua, saya berkunjung dengan durasi tinggal yang lebih lama, yaitu
sekitar tiga minggu. Saya berkediaman di rumah paman dan bibi saya. Pada
dua minggu pertama, saya melakukan riset sendiri dan pada minggu terakhir,
saya ditemani oleh dua kolega saya, yaitu Vicky Saputra (kolaborator) dan Fitri
Anggraini.

Banyak yang saya rasakan selama dua minggu pertama, sesederhana
kesunyian yang saya rasakan di malam hari. Suatu hal yang menarik ketika
menyadari bahwa saya ternyata sudah terbiasa tidur dalam kebisingan kota,
yang seringkali terdengar kendaraan bermotor berlalu lalang atau suara-suara
ramai lainnya.

Di Sumedang, saya seringkali tidak bisa tidur karena terlalu sunyi. Tidak
ada suara apapun disekitar rumah yang saya tinggali, hanya sesekali saja
suara kendaraan bermotor terdengar. Seringkali saya takut dan tidak bisa
tidur dengan tenang. Lalu saya menyadari bahwa keheningan dan kesunyian
bisa menjadi sesuatu yang menakutkan. Tiba-tiba, saya berimajinasi tentang
kesunyian yang ada di desa Cipaku, sebelum desa itu dipenuhi air. Ketika
penduduk kehilangan ruang asli, terpaksa harus meninggalkan tempat
tinggalnya, menjadikan ruang asli mereka menjadi ruang hampa. Betapa gelap
dan sunyinya disana, saya pikir.

Seringkali saya berjalan tiap pagi bersama bibi saya dan teman-temannya.
Sesekali juga berjalan sendiri, hingga cukup hafal dengan beberapa jalan
dan tempat di kota Sumedang. Ada sedikit kejanggalan yang saya rasakan
selama perjalanan. Sumedang terasa aman ketika saya mengamati keseharian
penduduk yang seringkali hampir sama setiap harinya. Seperti contohnya bibi
dan paman saya, yang segala rutinitasnya bersifat domestik. Atau para pedagang
yang menghabiskan harinya di warung atau di toko, menunggu pembelinya.
Para petani hingga nelayan yang mata pencahariannya berdekatan dengan
alam, setiap hari bermandikan sinar matahari. Semua adalah keseharian yang
bersifat repetitif namun sangat beda dengan keseharian kota urban, tentunya
karena pola hidup yang berbeda. Tidak ada gaya hidup yang hedonisme,
semua hampir terlepas dari hal-hal yang bersifat metropolis. Sederhana dan
akrab dengan alam, sehingga cara menyikapi segala sesuatu sangat berbeda.
Tentunya saya tidak terkejut ketika melihat bahwa kota ini terasa aman dan
nyaman bagi penduduknya, hanya saja itu merupakan perasaan janggal bagi
saya. Sumedang tidak terasa lambat dan juga tidak terasa cepat dan saya
merasa asing namun tidak terasingkan.

Saya cenderung mencari tempat-tempat yang jarang ditemukan di
Jakarta, seperti sawah. Ketika menemukannya, saya duduk saja dan menikmati
suasana yang jarang saya rasakan. Mengamati orang-orang sekitar melakukan
rutinitasnya sehari-hari membuat saya senang. Pada dua minggu pertama,
riset ini memang secara tidak langsung, cenderung tentang riset memori
tubuh. Saat itu saya benar-benar merasa ingin sekedar merasakan suasana

dan menghabiskan waktu di sana. Seperti pada halnya ketika saya menemani
paman pergi memancing di sebuah empang, diantara sawah yang luas, di
ujung suatu perumahan.

Delapan orang berjajar di tepi empang yang terbagi menjadi dua sisi
tempat memancing. Ketika saya dan paman saya hadir, sekitar pukul sebelas
siang, mereka semua penasaran dan terkejut mengapa seorang perempuan
datang untuk memancing. Biasanya hanya aki-aki saja yang suka memancing
di siang bolong. Setelah beberapa saat, suasana terasa tenang dan saya
pun merasa nyaman diantara mereka. Dengan mendengar guyonan-guyonan
khas Sunda mereka, saya jadi teringat Ayah saya dan saudara lainnya ketika
sedang bersilahturahmi. Walaupun sebagian besar saya tidak begitu mengerti
apa yang dibicarakan, namun nada dan logat berbicara mereka membuat saya
bernostalgia, mengingat suasana kampung Ayah.

Sejam, dua jam berlalu dan matahari semakin terik panasnya, namun
selalu ada hal yang membuat saya tertarik dan tidak bosan melihat mereka
memancing. Seperti ekspresi wajah mereka ketika berhasil menangkap ikan
mas. Paman sayapun terlihat bangga dan selalu memperlihatkan tangkapan
ikannya kepada saya. Sesekali saya mencoba memancing, namun sulit bagi
saya dan pada akhirnya menyerah.

Hal yang paling menarik adalah tubuh yang sedang menunggu, yang
cukup menginspirasi saya. Bagaimana mereka duduk dan terpaku melihat
ujung kail mereka. Bagaimana mereka bersabar ketika umpan mereka dimakan
tetapi tidak menghasilkan tangkapan, hingga tubuh mereka mengekspresikan
kekecewaan atau kekesalan. Saya ikut asik menyaksikan mereka dan merekam
suasana yang ada disana. Merasakan sejuknya angin, mendengar percikan
air, geleparan ikan dan suara-suara ketika mereka bercakap. Tubuh saya ikut
membungkuk, fokus kepada ujung kail, bertanya-tanya apakah ada sesuatu
yang menariknya. Mengingatkan saya kepada beberapa nelayan yang bekerja di
waduk Jatigede, dengan mungkin ketubuhan yang sama. Juga mengingatkan
saya ketika di waduk dan melihat kebawah, dengan berbagai pertanyaan di
kepala saya. Tubuh yang membungkuk dan mencari.

Kedatangan Vicky dan Fitri pada minggu terakhir sangat membantu saya
untuk meluruskan apa saja yang saya rekam selama dua minggu pertama.
Saya menceritakan perasaan-perasaan janggal yang dirasakan, dan ternyata
rasa janggal tersebut tidak selesai disitu.

Kami mengunjungi waduk Jatigede dari tiga titik yang berbeda, yaitu di
desa Pakualam, desa Pajangan, dan desa Sukaratu. Masing-masing memiliki
kejanggalan yang berbeda-beda, seperti contohnya di desa Pakualam banyak
ditemukan sisa-sisa bangunan yang sudah tidak utuh karena ditenggelamkan
oleh air yang pasang. Padahal, pada Desember 2020, saya mengunjungi desa
yang sama dan banyak sekali perbedaannya. Airnya kini jauh lebih tinggi
dibandingkan bulan Desember lalu, menenggelamkan tanah yang pernah saya
jejaki sebelumnya. Jalan aspal, tiang, tembok, lantai ubin, semua ditemukan
dengan keadaan yang terputus dan tidak utuh lagi. Hal ini saja, walaupun
dengan ketinggian air yang berbeda membuat saya semakin merasa aneh
dan kehilangan. Saya tidak bisa berjalan ke titik yang sama lagi karena saya
akan masuk, bahkan menyelam di dalam air.

Ada pula kejanggalan di desa Pajangan, yang tepatnya adalah tempat
wisata yang bernama Tanjung Duriat, merupakan tempat wisata waduk
Jatigede yang dibangun secara komersil. Di sana sangat bersih, indah, dan
juga merupakan titik terdekat dari bendungan Jatigede itu sendiri. Tersedia
fasilitas perahu yang dapat mengelilingi ‘pulau-pulau’ di atas air. Mengetahui
sejarah waduk Jatigede dan desa Cipaku, secara logika berarti ‘pulau-pulau’
tersebut sebenarnya adalah sebuah gunung yang telah tenggelam. Saya
merinding, membayangkan akan mendekati gunung di atas air. Kami bertiga
mengelilinginya dan sungguh, semakin perahu mendekat, saya semakin
tercengang. Baru tersadari oleh saya, mengapa di sekitar waduk selalu
banyak pohon-pohon yang sudah mati. Karena pohon-pohon tersebut pada
asal muasalnya adalah tumbuhan yang berhabitat di dataran tinggi. Maka
ketika tergenang oleh begitu banyak air, pohon-pohon tersebut menjadi mati.
Pulau tersebut, bagian tengah hingga atas disekelingi oleh tumbuhan yang
hidup, namun bagian dasarnya disekelingi oleh pohon-pohon yang sudah
mati. Kehidupan pohon-pohon telah terputus oleh air.

Begitu juga di desa Sukaratu, yang merupakan bagian ujung dari
Sumedang, mendekati daerah Wado. Desa Sukaratu juga bisa disebut sebagai
salah satu tempat wisata, namun tidak ditata untuk kebutuhan komersil karena
dekat dengan pemukiman penduduk. Rasa terputus juga sedikit ekstrem di
desa ini, karena jalan raya yang kita lewati menuju ke desa tersebut terputus
seketika oleh air yang sangat luas. Beda dengan desa Pakualam, dimana untuk
memasukinya, kita harus melewati jalanan-jalanan kecil. Di desa Sukaratu,
jalan raya yang dulunya bisa menembus ke Wado, telah tenggelam oleh air.
Keadaan air pun sama dengan desa Pakualam, airnya jauh semakin naik dari
terakhir saya kunjungi pada Desember 2020. Banyak warung-warung yang
tenggelam oleh air atau bahkan dipindahkan ke atas. Sampah-sampah di
air juga semakin banyak dikarenakan tempat ini dekat dengan pemukiman,
sehingga para nelayan harus pergi ke bagian lain untuk memancing. Warga
menanam jagung di dekat waduk yang bisa saja tenggelam kapan saja ketika
air itu kembali pasang. Serta sawah yang berada tepat di samping waduk,
menyambung ke dataran tinggi lainnya. Terasa dan terlihat aneh namun masuk
dalam logika saya. Karena pada dasarnya, orang Sunda berkebun dan bertani
untuk mencari nafkah. Kini berkebun, bertani dan bernelayan, semua menjadi
begitu dekat.

Ada pula penemuan Vicky ketika Ia menelusuri waduk Jatigede di Google
Map. Dalam tampilan default di Google Map, waduk Jatigede masih dalam
bentuk normalnya seperti di tahun 2015, dimana desa Cipaku masih dalam
keadaan utuh. Sedangkan dalam tampilan satelit, hal tersebut berubah seperti
apa yang telah kita lihat. Waduk tersebut sudah melebar sangat luas seperti
saat ini. Namun, karena hal tersebut, kami masih dapat melihat bangunan-
bangunan dan rumah-rumah di desa Cipaku dan sekitarnya di tahun 2015,
sebelum Cipaku menjadi waduk Jatigede. Keadaan saat itu, semuanya sudah
dihancurkan. Rumah penduduk maupun bangunan, sebagian besar sudah
diruntuhkan seakan-akan sudah siap untuk ditinggalkan atau dihapus oleh air.
Barang-barang warga telah dikemas untuk mengosongkan semuanya. Rasa
sunyi, hampa, serta meratanya beberapa bangunan dengan tanah, menakutkan

Begitu banyak kejanggalan yang ditemukan, serta berbagai macam
perasaan selama seminggu terakhir kami berdiam di Sumedang. Namun gejala-
gejala ini adalah yang paling berkesan yang kami amati. Kata terputus, terhapus
dan tak utuh semakin menguatkan konsep karya ini, sehingga visualisasi
dari ide artistik pun bergeser. Akuarium yang besar dan menggunakan rakit
berubah menjadi banyak dan kecil, seperti potongan-potongan atau sisa-sisa
bangunan yang kami lihat disana.

Saya dan Vicky tidak lagi membutuhkan pemisah antara atas dan
bawah untuk menyimbolkan waktu (masa lalu dan masa kini). Tapi kami hanya
membutuhkan air beserta refleksinya untuk menyimbolkan tersebut. Pada
akhirnya, air menjadi katalisator untuk menceritakan berbagai peristiwa di
Sumedang.

2015 -
Rumah yang kami temukan kembali utuh, seperti menjelajahi lewat mesin waktu





Catatan Tambahan

Oleh Vicky Saputra

Saya kira apa yang sudah dituliskan Alisa sudah cukup lengkap untuk
menceritakan bagaimana awal pertemuan kita menyusun karya ini, riset dengan
metode ‘ngebolang’, hingga menjadikan apa saja yang hadir di panggung.
Barangkali saya hanya menambahkan sedikit sudut pandang dari yang saya
alami.

Saya lahir di Bandung. Hingga berumur 2 tahun saya berada di
lingkungan masyarakat sunda. Tak lama kerusuhan Mei 1998, keluarga kami
pindah ke Sungailiat, Bangka. Seperti peristiwa Waduk Jatigede di Sumedang,
Pulau Bangka diselimuti dengan pertambangan timah. Seingat saya, awal
tahun 2000-an barangkali Bangka dikenal orang awam dengan ‘Sahang’ atau
Lada-nya. Setelah itu pertambangan Timah merajalela, baik pertambangan
legal maupun ilegal. Tentu, oknum pemerintah dan aparat berperan dibalik itu.

Disamping perekonomian Bangka yang pasang surut seritme dengan
harga jual timah dipasaran, ada hal mendesak yang lebih dekat. Tak jauh dari
sisi kiri, depan, kanan, belakang rumah kami diserbu saudara dari orang tua
saya sendiri dan tetangga untuk ditambang. Cukup alot perdebatan orang tua
saya dengan mereka untuk mempertahankan batas tanah dan rumah kami
saat itu. Memang uang yang bisa dikeruk saat itu cukup menggelapkan mata
masyarakat, siapa pun bisa turut andil dalam menambang. Tak heran beberapa
orang memutuskan merubuhkan rumahnya sendiri untuk ditambang, ditutup
kembali dengan pasir kerukan, dan dibangun rumah baru yang megah dari
hasil timah itu. Maka saya cukup akrab ‘genangan air buatan’ ini entah itu
waduk, danau, kolam dan sebagainya. Tak asing rasanya menginjakan kaki di
Waduk Jatigede.

Memang saat berada disituasi pelik seperti itu, kita lama lama menjadi
terbiasa. Apakah ini kutukan manusia menjadi makhluk adaptif? Hal ini saya
lihat serupa dengan masyarakat Sumedang di sekitaran waduk. Kami pastilah
sudah mengupayakan segala hal, namun ketika sudah terjadi kita hanya bisa
berucap, “yah mau bagaimana lagi, kita orang kecil”. Kepasrahan itu lama lama
ditelan dan berangsur angsur merayakannya. Kami merayakan ‘Genangan air
buatan’ itu dengan menyulapnya menjadi tempat wisata. Saya sendiri juga
hanyut didalam perayaan semacam itu. Setelah mengambil jarak, dan tiba
menghadap tempat wisata Waduk Jatigede barulah saya terpukul. Betapa
juga ironisnya kita.

Setelah apa yang diutarakan Alisa sebagai gagasan pembentuk, ternyata
saya menangkap hal lain setelah kami melakukan proses pengambilan video.
Ternyata saya mendesain ‘genangan air buatan’ itu, dengan segala bentuk dan
kasatnya, seperti titik - titik persinggahan riset kami selama di Waduk Jatigede.
‘Genangan air buatan’ ini kini menjadi medan untuk menjadikan tubuh penari
menjadi tubuh masyarakat. Dalam medan itu Ia bersiasat, adaptif, terenung,
gelisah, dilema, berusaha menyeimbangkan diri, dan ada kalanya tenggelam
(saya teringat seorang teman yang meninggal tenggelam di kubangan bekas
tambang). Saya seolah merasa Alisa bahkan mewakili insiden insiden serupa
seperti yang saya alami di Bangka. Awalnya saya kira karya ini hanya akan
mengantarkan Alisa ke akarnya. Ternyata saya pun diantarkannya ke akar saya
sendiri.



Akar air dan yang jatuh

Oleh Adinda Luthvianti

Di Waduk Jatigede, kita akan mengerti artinya kehilangan akar. Waduk
itu terhampar di atas 25 situs cagar budaya, bagian dari sejarah kuno kerajaan
Sumedang Larang dan tempat di mana kebudayaan suku Sunda dimulai. 28
desa, lima kecamatan, 11000 kepala keluarga, dan Gunung Surian, tempat
satwa liar berumah dan berkembang biak. Di lereng yang tidak terlalu terjal
(pada elevasi 315 meter di atas permukaan laut), para petani berladang. Saat ini
Gunung Surian hanya menampakkan kepalanya tepat di hulu Waduk, tubuhnya
tergenang bersama seluruh riwayat penghuninya. Setiap kita menatap puncak
gunung itu, yang terdengar hanya suara kesunyiaan.

Namun, pembangunan waduk Jatigede tidak pernah sunyi dari
penentangan. Gagasan membuat Waduk mulai dirundingkan pada masa Hindia
Belanda, gagasan yang ditentang keras masyrakat dan akhirnya tumbang.
Pada era presiden Soekarno (tahun 1963), rencana pembangunan Waduk
terdengar lagi. Saat itu politik pergantian kepemimpinan sedang memanas,
dan penentangan masyarakat juga panas. Rencana pembangunan waduk
kembali tak terdengar. Di bawah Presiden Soeharto pembangunan Waduk
kembali memanas. Kali ini Soeharto berhasil, dan mulai membangun Waduk
Jatigede. Kemudian Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono melanjutkan
pembangunannya. Dan pada era presiden Joko Widodo, tepatnya 31 Agustus
2015, Waduk mulai diisi air ketika persoalaan ganti rugi bagi 11000 kepala
keluarga belum juga selesai. Terowongan dibuat dengan melukai Sungai
Cimanuk untuk mengalirkan air, memenuhi badan Waduk. Pelan-pelan air
menenggelamkan satu juta lahan hijau produktif bersama puluhan situs
kebudayaan Sunda hingga kerajaan Pajajaran yang tumbuh sejak abad ke-8,
sebuah bencana! Bencana peradaban, ekologi, dan kemanusiaan, tenggelam
ke dalam 979,5 juta meter kubik air.

Air menjadi katalisator untuk menceritakan berbagai peristiwa di atas.
Angka-angka di atas hanya menjadi do’a yang menerima kesunyian. Dan akar
menjadi kesunyian paling ujung sebelum lepas dan fana.

Alisa Soelaeman

Seniman tari independen yang berbasis di Jakarta.
Lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada tahun 2017. Alisa
mendalami tari ballet klasik selama 15 tahun di Namarina
Dance Academy dan mendapatkan gelarnya sebagai Advanced
in Royal Academy of Dancing (ARAD). Pada tahun 2011, ia
mempelajari seni tari secara mendalam di Institut Kesenian
Jakarta dan lulus pada 2017. Dia juga terlatih dalam tari tradisi,
modern dance, hip hop dan menggarap style personalnya
sendiri dalam karyanya.

Alisa telah banyak bekerja sama sebagai penari dengan
koreografer Indonesia seperti, Jecko Siompo, Hartati, Ajeng
Soelaeman, Yola Yulfianti, Andara F. Moeis, Tom Ibnur, Eko
Supriyanto, Gianti Giadi dan koreografer lainnya di Indonesia.
Ia juga pernah bekerja sama dengan Pichet Klunchun
(Koreografer, Thailand) sebagai koreografer dan penari untuk
produksinya “ Toki Toky Saru” di Festival Tokyo 2017, Tokyo,
Jepang. Alisa baru saja mendapatkan beasiswa dari Asian
Culture Council (ACC) dengan bantuan yayasan Kelola untuk
program residensi koreografer internasional di American
Dance Festival 2019 di Durham, North Carolina, USA.

Sebagai Koreografer, Alisa telah menciptakan beberapa karya
tari. Karya-karyanya selama empat tahun terakhir adalah “What
Are We Talking About?” (2017), “ Transference” (2018) dan
“ Transference 2.0” (2019). Ketiganya dilakukan di beberapa
festival tari di dalam dan luar negri. Saat ini Alisa mengajar
tari ballet dan kontemporer di Gigi Art of Dance, Steps Dance
Academy dan Rockstargym.

Vicky Saputra

Lahir di Bandung dan besar di Bangka. Kini bekerja dan
tinggal di Tangerang. Lulus pendidikan S1 Desain Komunikasi
Visual pada tahun 2018. Mempelajari seni rupa secara otodidak
dan pendidikan informal lainnya. Mulai aktif berpameran sejak
awal 2016.

Beberapa pameran yang pernah diikuti yaitu Jakarta 32C
(2016), Artcolabs ; Spectrum (2017), XYZ - Artunlimited (2018)
dan QYV Prospectrum ; perupa pilihan Hanafi (2020). Adapun
projek pameran duo independen sekaligus peluncuran buku
visualisasi puisi Sadar Rasa Dasar (2019). Ia sempat meraih
penghargaan untuk 10 karya terbaik Jakarta 32C tahun 2016.

Adinda Luthvianti

Direktur Program Studiohanafi, Sutradara Teater dan Peneliti.

Tempat dan tanggal lahir: Purwakarta, 30 Agustus 1962

1982 - Bergabung di Komunitas Teater Bel Bandung, berpartisipasi di beberapa
produksinya sebagai aktor, dan produksi pertunjukan.

1994 - sekarang: Memproduksi pameran untuk seniman Hanafi, mengelola
gakerikertas, narasumber untuk seniman muda yang residensi di studiohanafi

1999: Mendirikan Komunitas Studiohanafi, sebuah komunitas seniman
independen (kunjungi www.studiohanafi.com untuk info lebih lanjut).

2004: mengikuti workshop dan mengamati sejumlah pertunjukan teater, tari,
dan seni rupa di “2004 Universal Forum of Cultures” Barcelona Parc del
Fo’rum, Spain.

2005: Mendirikan Teater Anak Studiohanafi, yang masih aktif sampai sekarang.

2012: menyelenggarakan program residensi seniman, bertajuk MIC (Masyarakat
Indonesia Cipta) untuk 20 seniman/ komunitas Seni dan budaya dari Papua,
Ambon, Ternate, NTT, dan wilayah NTB di Studiohanafi

2013 - 2015: Berpartisipasi dan menjuarai lomba teater anak di Festival Teater
Anak, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki sebagai group teater terbaik,
sutradara, artistik, dan penulis naskah terbaik (“Hujan Mencari Kali”, “Ilalang”,

dan “Bulan, angin dan pepohonan yang tak bahagia”).

2015 - 2018: Riset di Tulang Bawang Barat dan membuat program ekosistem
seni dan budaya di wilayah pemekaran baru, Tulang Bawang Barat, Lampung.

2016 - menyutradarai pertunjukan mengenang satu tahun Sitor Situmorang,
cerpen “Harimau Tua”di Teater Kecil TIM

2016 – 2020: Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta

2017: atas undangan British Council Jakarta, mengikuti Edinburgh Festival
Fringe, UK.

2018 : membuat program kesenian untuk Vidafes, Bekasi

2020: Dramaturg untuk pertunjukan dance film karya Irfan Setiawan untuk
International Dance Festival Biennale (IDF) 2020 “Re-reading Impact”

2021: Menemani proses 10 koreografer yang berkarya untuk Festival Mentari
2021, Padang, Sumatra Barat.

Riset bersama Lembaga Penelitian dan Pengambdian Masyarakat Universitas
Katolik Atmajaya dalam Penelitian MOBILE ARTS FOR PEACE (MAP): Informing
the National Curriculum and Youth Policy for Peacebuilding in Kyrgyzstan,
Rwanda, Indonesia and Nepal.

















Tim Produksi

Koreografer

Alisa Soelaeman

Dramaturg

Adinda luthvianti

Artistik

Vicky Saputra

Manager produksi

Helda Yosiana

Videografer & Editor

Standart production

Sound Director

Eyi lesar

Fasilitator

Studiohanafi

Kru artistik

Dedeng, Fajar, Ajis.




Data Loading...