1. PEMBENTUKAN KARAKTER-edited - PDF Flipbook

1. PEMBENTUKAN KARAKTER-edited

106 Views
0 Downloads
PDF 0 Bytes

Download as PDF

REPORT DMCA


Bahan Bacaan Pendidikan dan Pelatihan Calon Kepala Sekolah

Penanggung Jawab:
Dr. Praptono, M.Ed.

Penyusun:
1. Drs. Sutar, M.Pd.Si.
2. Dr. Dian Fajarwati, M.Pd.
3. Fety Marhayuni, S.Pd., M.Pd.

Reviewer:
1. Drs. Yuli Cahyono, M.Pd.
2. Dr. Dian Fajarwati, M.Pd.
3. Zaimmatus Sa‟ida, S.Pd., M.Pd.

Pokja PKK 2

Editor:
Direktorat Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan,
Kemendikbud

Hak Cipta: © 2020 pada Direktorat Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan
Tenaga Kependidikan
Dilindungi Undang-Undang
Diterbitkan oleh: Direktorat Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga
Kependidikan Kemdikbud RI

MILIK NEGARA
TIDAK DIPERDAGANGKAN

PEMBENTUKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING)
KEPALA SEKOLAH (9 JP)

I. PENUGASAN DINAMIKA KELOMPOK (4 JP x 45’ = 180’)

A. Latar Belakang
Dinamika kelompok menurut Yacobs, Harvill, dan Manson (1994) merupakan kekuatan
yang saling mempengaruhi hubungan timbal balik melalui interaksi yang terjadi antar
anggota kelompok dengan pemimpin yang diberi pengaruh kuat pada perkembangan
kelompok.

Awal mula muncul kegiatan dinamika kelompok adalah dalam rangka proses mencari
pengalaman melalui ruangan yang dipadukan dengan alam terbuka. Hal tersebut sudah
dimulai sejak zaman Yunani. Sedangkan dalam bentuk pendidikan formal, sudah mulai
dilakukan pada tahun 1821 ditandai dengan didirikannya Round Hill School, di Inggris,
tetapi secara sistematik kegiatan alam terbuka (outbond) baru dimulai di Inggris pada
tahun 1941.

Pada awalnya tujuan dari kegiatan mencari pengalaman melalui ruangan tersebut
mendidik generasi muda untuk mencari ilmu pengetahuan sebagai bekal
mempertahankan kehidupan kelak dewasa, Kegiatan mencari pengalaman melalui
ruangan terbuka pada akhirnya banyak digunakan oleh lembaga pendidikan untuk
mempersiapkan generasi muda yang tangguh dalam menghadapi kehidupannya.
Sedangkan kegiatan pada alam terbuka (outbond) bertujuan mendidik generasi muda
untuk siap perang. Sehingga kegiatan pelatihan di alam terbuka ini pada akhirnya
memang banyak digunakan oleh lembaga militer untuk mempersiapkan prajurit tangguh.
Selain untuk mempersiapkan prajurit yang tangguh, dewasa ini (outbond) digunakan
juga sebagai terapi kejiwaan dan untuk membangun modal sosial.

Hal terpenting dalam mencari pengalaman melalui ruangan dipadukan dengan alam
terbuka untuk membentuk pengalaman. Namun dalam kesempatan ini untuk mencari
pengalaman dipadukan antara kegiatan dalam ruangan dan diluar ruangan ini adanya
upaya peningkatan kemampuan profesional calon kepala sekolah dalam rangka
pembentukan karakter peserta Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Calon Kepala Sekolah
sehingga dapat menumbuhkan kompetensi kepribadian dan sosiali sebagai kepala
sekolah.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 1

Dinamika kelompok sebagai suatu metoda dan proses, merupakan salah satu alat
manajemen untuk menghasilkan kerjasama kelompok yang optimal, agar pengelolaan
organisasi menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Sebagai metoda, dinamika
kelompok, membuat setiap anggota kelompok semakin menyadari siapa dirinya dan
siapa orang lain yang hadir bersamanya dalam kelompok dengan segala kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Kesadaran semacam ini perlu diciptakan karena
kelompok atau organisasi akan menjadi efektif apabila memiliki satu tujuan, satu cara
tertentu untuk mencapai tujuan yang diciptakan dan disepakati bersama dengan
melibatkan semua individu anggota kelompok tersebut sesuai dengan kemampuannya
masing-masing. Sebagai suatu proses, dinamika kelompok berupaya menciptakan situasi
sedemikian rupa, sehingga membuat seluruh anggota kelompok merasa terlibat secara
aktif dalam setiap tahap perkembangan atau pertumbuhan kelompok, agar setiap orang
merasakan dirinya sebagai bagian dari kelompok dan bukan orang asing. Dengan
demikian diharapkan bahwa setiap individu dalam organisasi merasa turut bertanggung
jawab secara penuh terhadap pencapaian tujuan organisasi yang lebih luas.

Suatu kelompok biasanya tidak dapat berjalan dengan lancar apabila tidak dipimpin oleh
seorang yang baik. Kerja sama diskusi maupun kegiatan lainnya banyak ditentukan oleh
kepemimpinandari ketua kelompok. Untuk itu peserta harus dapat merasakan bagaimana
dipimpin dan bagaimana pula cara memimpin yang baik.

Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
khususnya pada dimensi kompetensi kepribadian dan sosial mensyaratkan bahwa
seorang kepala sekolah diharapkan menguasai kompetensi.

Kegiatan dinamika kelompok pada Diklat Calon Kepala Sekolah yang dikembangkan saat
ini (tahun 2020) dapat dilakukan secara dalam jaringan (daring) melalui tatap muka virtual
dan luar jaringan (luring) melalui tatap muka langsung. Dinamika kelompok melalui tatap
muka virtual dilakukan selama kondisi negara Republik Indonesia mengalami pandemi
Covid-19 yang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan peserta diklat dalam jumlah
banyak pada sebuah komunitas. Sedangkan dinamika kelompok secara tatap muka
langsung dapat dilakukan apabila kondisi sebuah daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota)
telah dinyatakan sebagai zona hijau dan mendapatkan izin dari gugus covid daerah
setempat.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 2

B. Target Kompetensi
Setelah mengikuti kegiatan dinamika kelompok dalam Diklat Calon Kepala Sekolah
Sekolah, peserta mampu menerapkan nilai-nilai kepemimpinan dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya sebagai kepala sekolah pada:
1. Kompetensi Kepribadian
a. Berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan akhlak mulia, menjadi teladan
akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah.
b. Memiliki integritas dan tanggung jawab sebagai pemimpin sekolah
c. Memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala
sekolah/madrasah.
d. Bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi.
e. Mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai
kepala sekolah/madrasah.
f. Memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.
2. Kompetensi Sosial
a. Bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah.
b. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
c. Memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain.

C. Materi Pembentukan Karakter ( 9 JP )
Distribusi materi dalam mata diklat Pembentukan Karakter sebagai berikut:

NO MATERI WAKTU

1. Dinamika Kelompok 4 JP (180’)
a. Penjelasan Umum Dinamika Kelompok 10‟

b. Kontrak Program 5‟

c. Yel Nasional 10‟

d. Yel-yel suku/kelompok 20‟

e. Penugasan Koreografi 70‟

f. Refleksi Dinamika Kelompok 65‟

2. Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Profil Pelajar 45‟

Pancasila

3. Menggerakkan Komunitas Belajar di Lingkungan Sekolah, 45‟

organisasi profesi, dan lingkungan yang lain (Community of

Practice)

4. Inquiry Apresiatif 45‟

5. Membangun Kebiasaan Refleksi Secara Mandiri (Self Regulated 45‟

Learning)

6. Mengembangkan kematangan diri (Self Maturity) secara holistic 45‟

spiritual, moral, emosi, dan intelektual)
TOTAL JP Pembentukan Karakter 9 JP (225’)

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 3

D. Langkah-Langkah Pembelajaran (4 jp x 45” = 180’)
Skenario Pembelajaran Dinamika kelompok

Pembukaan (45’) Pelaksanaan (70’) Penutupan (65’)

Pembukaan dinamika Koordinasi Refleksi pelaksanaan
kelompok dinamika kelompok
Target kompetensi suku/kelompok Testimoni dari
Kontrak Program peserta terhadap
Pembentukan (breakout room zoom pelaksanaan
Suku/kelompok dinamika kelompok
Penjelasan penugasan bagi pelaksanaan diklat Penutupan dinamika
dinamika kelompok secara daring) 30’ kelompok

Pelaksanaan

penugasan dinamika
kelompok 40’
(20’/suku

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 4

SUBSTANSI MATERI PEMBENTUKAN KARAKTER

I. Pelaksanaan Dinamika Kelompok

1. Penjelasan umum Dinamika Kelompok
Pengajar diklat menyampaikan tentang pentingnya dinamika kelompok dengan
disertai regulasi terkait (Permendiknas nomor 13 tahun 2007 tentang standar kepala
sekolah/madrasah). Peserta diklat diberi penjelasan mengenai nilai-nilai karakter
yang akan dikuatkan dalam kegiatan penugasan dinamika kelompok.

2. Kontrak Program dan Pembentukan suku (kelompok)
Moda tatap muka virtual (Moda daring)
Adapun rincian kontrak program untuk tatap muka virtual meliputi hal-hal sebagai
berikut.
a. Peserta memakai pakaian hitam putih (berdasi bagi laki-laki) denganbawahan
hitam selama pembelajaran.
b. Peserta dilarang keluar dari ruang meeting (zoom meeting) selama diklat.
c. Peserta harus mengaktifkan/menyalakan video dalam aplikasi video conference
selama kegiatan berlangsung
d. Peserta harus memakai nama tag atau kartu nama.
e. Peserta tidak diperbolehkan mengerjakan kegiatan atau pekerjaan lain yang
menimbulkan suara berisik, noise, yakni dual video conference, makan, tiduran,
rebahan, memasak, baby sitting atau hal lain yang dapat mengganggu selama
tatap muka virtual
f. Peserta dilarang menggunakan gadget (HP/IPAD/IPHONE dan yang sejenisnya)
selama kegiatan penugasan dinamika kelompok.
g. Peserta dilarang melihat TV, membaca koran, majalah kecuali kitab suci dan
Bahan Pembelajaran diklat.
h. Peserta dilarang berbicara dengan orang lain yang bukan warga kelas.
i. Peluit berbunyi tiga kali pendek 5 menit lagi kegiatan akan dimulai
j. Peluit berbunyi tiga kali panjang kegiatan dimulai peserta tidak boleh terlambat
k. Peserta harus melaksanakan semua penugasan.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 5

Moda Tatap Muka Langsung
Pengajar Diklat menyampaikan kontrak (aturan) yang akan disepakati dan
dilaksanakan secara bersama-sama selama mengikuti kegiatan dinamika kelompok
Adapun rincian kontrak program untuk tatap muka langsung meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Peserta mengenakan pakaian olahraga lengkap.
b. Peserta mengenakan tanda pengenal sebagai peserta diklat calon kepala sekolah
c. Peserta tidak diperbolehkan meninggalkan kegiatan, kecuali dalam hal yang

mendesak/sangat penting, setelah mendapat ijin/persetujuan dari
panitia/narasumber
d. Peserta harus memakai name tag/tanda pengenal.
e. Peserta dilarang menerima tamu selama pelaksanaan kegiatan dinamika
kelompok kecuali atas ijin pengajar/panitia.
f. dilarang menggunakan gadget (HP/IPAD/IPHONE dan yang sejenisnya) selama
kegiatan dinamika kelompok
g. Peserta dilarang melihat TV, membaca koran, majalah kecuali kitab suci dan
modul diklat
h. Peserta dilarang merokok.
i. Peluit berbunyi tiga kali pendek 5 menit lagi kegiatan akan dimulai
j. Peluit berbunyi tiga kali panjang kegiatan dimulai peserta yang terlambat dicatat.
k. Peserta harus melaksanakan semua penugasan,

3. Yel Nasional
Pengajar diklat membimbing peserta untuk mengkumandangkan yel nasional dengan
posisi berdiri gerakan kaki kiri dilangkahkan ke depan dan tangan kanan mengepal ke
atas. Adapun yel nasional berbunyi sebagai berikut:

I do My Best

You do Your Best

We do Our best

The best ….yes
Lakukan berulang kali hingga peserta hafal dan menjiwai makna dari yel tersebut.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 6

4. Pembentukan Suku
Setelah kontrak program selesai disepakati dan siap dilaksanakan, dan
mengumandangkan yel nasional Pengajar diklat memimpin untuk membentuk suku-
suku (kelompok-kelompok) kecil yang terdiri dari @ 10 orang peserta untuk setiap
suku/kelompok.
a. Pembelajaran secara tatap muka langsung Pengajar membagikan pita serta
bendera suku (kelompok) kepada masing-masing suku yang sekaligus penamaan
suku menggunakan jenis warna dari pita dan bendera yang diterima. Contohnya:
SUKU KUNING, SUKU BIRU, SUKU UNGU, SUKU MERAH, dan seterusnya.
Pembelajaran secara tatap muka virtual Pengajar meminta peserta diklat memakai
penanda kertas warna/bahan lain yang dapat dipakai sebagai penanda sesuai
dengan nama sukunya disematkan di data peserta.
b. Pengajar memberikan nama suku/kelompok sesuai dengan kesepakatan dengan
peserta
c. Pengajar menjelaskan teknis pelaksanaan penugasan kepada seluruh peserta
dalam suku/kelompok
d. Pengajar meminta setiap suku/kelompok memiliki yel dan lagu kebangsaan
suku/kelompok masing-masing sebagai pemacu semangat
e. Pengajar meminta peserta untuk menunjuk ketua sebagai koordinator setiap
suku/kelompok
f. Panitia/admin membuat breakout room (apabila dilaksanakan secara tatap muka
virtual) untuk memberi kesempatan peserta dalam suku/kelompok untuk koodinasi
sesuai waktu yang telah ditentukan

5. Lagu kebangsaan dan yel-yel suku (kelompok)
Pengajar diklat membimbing peserta untuk mencipta lagu kebangsaan dan yel-yel
suku (kelompok) yang akan dipergunakan sebagai pemantik semangat bagi masing-
masing suku. Lagu dan yel suku yang dibuat harus memunculkan identitas nama
sukunya dengan disertai kata-kata pembangkit semangat dan visi yang membawa
sukunya meraih kejayaan.

Adapun contohnya adalah sebagai berikut:

Suku-suku Kuning suku kuning yang paling kuat Suku-suku Kuning suku
kuning yang paling kompak Siapa berani melawan kami serentak rakyatku
membela Hidup suku kuning, Kuning….Kuning….Kuning Yes…..

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 7

Setiap suku (kelompok) diminta untuk memperagakan lagu kebangsaan dan yel
sukunya di depan kelas. Bagi suku (kelompok) yang memiliki lagu dan yel suku yang
sama atau mirip maka meminta untuk mengulang kembali. Pengajar memberikan
apresiasi positif terhadap karya ciptaan lagu dan yel suku.

Nilai karakter kepemimpinan yang dikuatkan adalah kreativitas, inovasi, motivasi
yang kuat meraih prestasi, kerjasama, komitmen, dan tanggung jawab.

6. Pelaksanaan Penugasan Dinamika Kelompok (Membangun Kreativitas dan
Kerjasama melalui penugasan mencipta gerakan koreografi)

Persiapan dan pelaksanaan penugasan
a. Pengajar memberi penjelasan tugas koreografi
b. Pengajar mendemonstrasikan tarian sebuah kebudayaan
c. Pengajar menentukan sebuah lagu yang akan menjadi pengiring dalam koreografi

(lagu daerah atau lagu lain yang menimbulkan semangat)
d. Pengajar memberikan informasi dan pengarahan kepada ketua suku/kelompok;
e. Pengajar diklat menyampaikan kepada peserta bahwa aspek penilaian dari

penugasan ini adalah kekompakan, keserasian gerakan dengan musik, variasi
gerakan.
f. Ketua suku (ketua kelompok) kembali ke kelompoknya memberi penjelasan tugas
pembuatan koreografi
g. Pengajar memberi kesempatan kepada setiap suku/kelompok untuk melakukan
koordinasi dan latihan mencipta gerakan koreografi melalui breakout room (untuk
pelaksanaan dengan tatap muka virtual melalui aplikasi video conferences)
h. Setiap kelompok melaksanakan tugas koreografi sampai lagu selesai diputar
i. Pengajar memberikan komentar mengenai penilaian penugasan koreografi dengan
kriteria kekompakan, keserasian gerakan dengan musik, dan jumlah variasi
gerakan
j. Setelah selesai penugasan pengajar memberikan umpan balik tentang penugasan
dan bertanya manfaat apa penugasan tersebut bila dikaitkan dengan kepribadian,
sosial dan bagaimana cara mengatasi masalah-masalah itu bila terjadi dalam
pekerjaan yang sebenarnya.

Mengatur Strategi (10 Menit)
a. Pengajar diklat menggali strategi yang akan digunakan oleh ketua suku/kelompok,

apakah ketua menggunakan ide anggotanya

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 8

b. Pengajar diklat menanyakan efektifitas strategi yang akan digunakan dan
menanyakan strategi lain jika strategi awal gagal

c. Pengajar diklat menanyakan peran masing-masing anggota dalam menyelesaikan
tugas serta langkah apa yang akan ditempuh dalam melaksanakan tugas dengan
baik

Aspek penilaian penugasan koreografi
Kekompakan, keserasian gerakan dengan musik, variasi gerakan.
(penilaian dilakukan oleh juri dari unsur pengajar diklat)

Bahan dan alat
Audio tape dan tape player atau sejenis (youtube)

Rambu-rambu nilai kepemimpinan dalam pelaksanaan kepemimpinana kepala
sekolah
Kekompakan, kreativitas, kerjasama, keaktifan, tanggung jawab, rasa ingin tahu akan
hal baru, dan menumbuhkan motivasi diri dalam semangat kerja.

II. FILOSOFI PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA DAN PROFIL PELAJAR
PANCASILA

Skenario pembelajaran (45’)

Brainstromin Pengantar Disku Reflek
g 10' materi si si
15' 10'
10'

A. FILOSOFI PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA
Sebelum kita memahami filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang

Pendidikan, sebaiknya kita melakukan refleksi diri tentang pemikiran Ki Hadjar
Dewantara.

Kita sudah sering mendengar kata-kata seperti budi pekerti, ing ngarso
sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Kata-kata ini merupakan
jiwa dari pendidikan nasional. Oleh sebab itu, pada tahap awal ini, Anda akan
berdialog dengan diri Anda sendiri untuk menemukan pemikiran mendasar Ki Hadjar

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 9

Dewantara dan relevansinya dengan peran Anda sebagai calon pemimpin di
sekolah.

Sebagai pemantik proses refleksi tersebut, mari kita ingat-ingat kembali
pengalaman ketika kita bersekolah. Jawaban pertanyaan berikut tidak perlu ditulis
namun tetap perlu direnungkan dan dilakukan dengan sungguh-sungguh.

1. Pengalaman apa saja yang membuat Anda semangat bersekolah, atau
sebaliknya, kehilangan motivasi?

2. Momen apa saja yang membuat Anda merasa berkembang sebagai seorang
pembelajar?

3. Siapa sosok Kepala Sekolah yang menginspirasi Anda?
4. Apa saja pengalaman yang berkesan bersama Kepala Sekolah tersebut?
5. Pernahkah Anda menduplikasi atau mengadaptasi yang dilakukan oleh Kepala

Sekolah tersebut di sekolah yang pimpin?
Selanjutnya, Anda diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

tersedia di bawah terkait pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD). Anda
diminta untuk menuliskan jawaban minimum 100 kata dan maksimum 150
kata untuk setiap pertanyaan.

Apa yang Anda ketahui tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang
Pendidikan dan pengajaran?

1. Apa hubungan pemikiran KHD dengan konteks Pendidikan Indonesia saat ini
dan konteks Pendidikan di sekolah Anda?

2. Apakah Anda merasa sudah melaksanakan pemikiran KHD dan memiliki
kemerdekaan dalam menjalankan aktivitas sebagai Kepala Sekolah?

3. Setelah menjawab pertanyaan reflektif, Anda diminta untuk mengungkapkan
harapan ekspektasi Anda terkait dengan pembelajaran ini. Apa saja harapan
yang ingin Anda lihat pada diri Anda sebagai seorang calon kepala sekolah
setelah mempelajari materi ini?

4. Apa saja harapan yang Anda lihat pada murid-murid Anda setelah mempelajari
materi ini?

5. Apa saja kegiatan, materi, manfaat yang Anda harapkan ada dalam materi ini?

a) Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara,

Secara harfiah kata ini mengandung substansi filsafat dan pendidikan.

Filsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai

kebijakan dan kearifan, sedangkan filsafat pendidikan merupakan ilmu yang pada

hakekatnya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam lapangan

pendidikan. Oleh karena bersifat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 10

hakekatnya adalah penerapan dari suatu analisis filosofis terhadap lapangan

pendidikan. Banyak aliran-aliran filsafat pendidikan yang mewarnai praktek

pelaksanaan pendidikan, baik yang dicetuskan tokoh-tokoh dari dunia barat,

maupun dari tokoh-tokoh dunia timur. Tokoh filsafat pendidikan yang muncul dari

dunia timur yang cukup terkenal, khususnya di Indonesia adalah Ki Hajar

Dewantara (KHD). Gagasan-gagasan filosofis KHD telah menjadi pondasi yang

cukup kokoh dalam pendidikan di Indonesia, meskipun dalam

pengejewantahannya dewasa ini sering terinfiltrasi oleh determinasi filosofi Barat.

Munculnya degradasi nilai dalam masyarakat sebagai akumulasi proses

pendidikan yang lebih mengedepankan transformasi knowledge dari pada

transformasi value dalam sistem pendidikan, telah menyertakan pemangku

pendidikan di Indonesia untuk meletakkan kembali pilar filosofi kendidikan yang

dicetuskan oleh tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia. Pendidikan merupakan

upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik

maupun potensi cipta, rasa, maupun karsanya agar potensi itu menjadi nyata dan

dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita

kemanusiaan universal maka dalam pemecahan masalah-masalah pendidikan

yang komplek juga dibutuhkan filsafah-filsafah agar solusi pemecahan masalah

tersebut juga dapat dirasakan manfaatnya bagi semua pihak. Salah satu tokoh

yang memiliki filsafah pendidikan yaitu Ki Hadjar Dewantara (KHD), beliau adalah

seorang bangsawan dari lingkungan Kraton Yogyakarta yang peduli dengan

lingkungan pendidikan. Berangkat dari latar belakang di atas, maka dipandang

perlu untuk mengkaji kembali secara kritis gagasan filosofi pendidikan KHD dalam

bentuk makalah untuk dijadikan bahan diskusi-reflektif.

KHD lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama

Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton

Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun

menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.

Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan

namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik

secara fisik maupun hatinya. Ayahnya bernama G.P.H. Surjaningrat putra Kanjeng

Hadipati Harjo Surjo Sasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam ke-III. Ibunya

adalah seorang putri keraton Yogyakarta yang lebih dikenal sebagai pewaris

Kadilangu keturunan langsung Sunan Kalijogo. Ki Hadjar Dewantara pertama kali

masuk Europeesche Lagere School. Setelah tamat dari Europeesche Lagere

School, Ki Hadjar melanjutkan pelajarannya ke STOVIA, singkatan dari School Tot

Opleiding Van Indische Arsten. Ki Hadjar tidak menamatkan pelajaran di STOVIA.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 11

Ki Hajar juga mengikuti pendidikan sekolah guru yang disebut Lagere Onderwijs,

hingga berhasil mendapatkan ijasah (Irna H.N., Hadi Soewito, 1985: 16). Bersama
dengan Tjipto Mangunkusumo pada permulaan Juli 1913 membentuk “Committee

tot Herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid” (panitia peringatan 100
tahun kemerdekaan Nederland) yang dalam bahasa Indonesia disingkat “Komisi

Bumi Putra”. Panitia bermaksud akan mengeluarkan isi hati rakyat, memprotes

adanya perayaan kemerdekaan Belanda karena rakyat Indonesia dipaksa secara

harus memungut uang sampai ke pelosok-pelosok. Akibat terlalu banyak protes

dalam artikel dan tulisan di brosur ketiga pemimpin Indische Party (tiga serangkai)

ditangkap dan ditahan. Dalam waktu yang amat singkat, pada 18 Agustus 1913

keluarlah surat dari wali negara untuk ketiga pemimpin tersebut. Ketiganya

dikenakan hukuman buang; Soewardi ke Bangka, Tjipto Mangunkusumo ke Banda

Neira, dan Douwes Dekker ke Timur Kupang. Keputusan itu disertai ketetapan

bahwa mereka bebas untuk berangkat keluar jajahan Belanda. Ketiganya ingin

mengganti hukuman interniran dengan hukuman externir, dan memilih negeri

Belanda sebagai tempat pengasingan mereka Ketika di negeri Belanda perhatian

Soewardi Soejaningrat tertarik pada masalah-masalah pendidikan dan pengajaran

di samping bidang sosial politik. Ia menambah pengetahuannya dalam bidang

pendidikan dan pada tahun 1915 memperoleh Akte Guru. Tokoh-tokoh besar

dalam bidang pendidikan mulai dikenalnya, antara lain; J.J. Rousseau, Dr. Frobel,

Dr. Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey, dan Kerschensteiner. Frobel
ahli pendidikan terkenal dari Jerman pendiri “Kindergarten”. Montessori sarjana
wanita dari Italia pendiri “Casa dei Bambini”. Rabindranath Tagore, pujangga

terkenal dari India, pendiri perguruan “Santi Niketan”. Pengalaman Ki Hadjar

Dewantara dan kawan-kawannya di lapangan perjuangan politik, dengan melalui

berbagai rintangan, penjara dan pembuangan dengan segala hasilnya,

menimbulkan pikiran baru untuk meninjau cara-cara dan jalan untuk menuju

kemerdekaan Indonesia (Muchammad Tauchid, 1963: 29). Ki Hadjar Dewantara

yang terus berjuang tak kenal lelah tersebut dalam menghadapi berbagai masalah,

ternyata dia menaruh perhatian terhadap pendidikan karakter bangsa.

Ki Hajar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Nasional. Tanggal lahirnya 2

Mei ditetapkan sebagai hari Pendidikan Nasional. Hal itu karena beliau merupakan

seorang tokoh yang tanpa jasa memerdekakan Indonesia. Pengabdiannya

sungguh besar terhadap bangsanya. Banyaknya karya yang membuat Indonesia

menjadi bangga pun sering ia lakukan. Dengan kepintaran, kebijaksanaan, tekun

dan berani memerdekakan hak dari orang lain dan bangsanya melawan penjajah.

ELS merupakan sekolah dasar di Eropa, Belanda yang menjadi lulusan Ki Hajar

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 12

Dewantara. Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera),

tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan

wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De

Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada

masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam

dengan semangat antikolonial. Banyak karya-karya yang dimiliki beliau. Berbagai

macam cara yang dilakukan KHD demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan

Indonesia. Salah satunya dengan seringnya mengubah namanya sediri. Hal

tersebut dimasudkan untuk menunjukkan perubahan sikapnya dalam

melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari

pahlawan yang berwatak Guru spiritual ke Guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang

mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Tidak

berhasil menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, tidak membuat Ki Hajar

Dewantara vakum, beliaupun mulai menulis untuk beberapa surat kabar sebagai

wartawan muda. Selain itu beliau juga aktif di berbagai kegiatan sosial dan politik.

Sebagai seorang wartawan tulisan-tulisan beliau dikenal sangat patriotik dan

mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Tulisan Ki Hajar

Dewantara yang terkenal sebagai berikut "Seandainya Aku Seorang Belanda",

dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913. Artikel

ini ditulis sebagai protes atas rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan

sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka,

untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis. Sindiran Ki Hajar Dewantara

melalui tulisan-tulisannya di beberapa surat kabar menyulut kemarahan Belanda,

puncaknya Gubernur Jendral Idenburg memerintahkan agar Ki Hajar Dewantara di

asingkan ke Pulau Bangka tanpa proses peradilan terlebih dahulu.

Atas permintaan kedua rekannya yang juga mengalami hukuman

pengasingan yaitu dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo,

pengasingan mereka dialihkan ke negeri Belanda. Masa pembuangan di negeri

Belanda tersebut tidak disia-siakan oleh Ki Hajar Dewantara untuk mendalami

bidang pendidikan dan pengajaran, hingga akhirnya memperoleh sertifikat

Europeesche Akte. Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1918, Ki Hajar

Dewantara mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai salah satu

bentuk perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya

lainnya, Ki Hajar mendirikan Nationaal Onderwijs Institut Tamansiswa atau lebih

dikenal dengan Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922.

Taman Siswa merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang

menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta semangat berjuang untuk

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 13

memperoleh kemerdekaan. Taman Siswa, yang merupakan singkatan dari

Pergerakan Kebangsaan Taman Siswa, yang merupakan merupakan sebuah

lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantoro pada Juli 1922 di

Yogyakarta. Pada 6 Januari 1923 Pergerakan Kebangsaan Taman Siswa
dinyatakan sebagai “wakaf bebas”. Lembaga ini diserahkan oleh Ki Hadjar

Dewantara pada 7 Agustus 1930 kepada Yayasan Taman Siswa, yang

berkedudukan di Yogyakarta.

Dengan tujuan untuk memperoleh suatu wawasan dalam pemikiran yang

mendasari Perguruan Taman Siswa, perlu untuk mengetahui prinsip dasar yang

diuraikan dalam rapat pendiriannya pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara.

Terdapat tujuh prinsip dari lembaga pendidikan ini.

Hak menentukan nasib sendiri. Hak menentukan nasib sendiri dari

individu yang perlu memperhitungkan tuntutan kebersamaan dari masyarakat

harmonis, sebagai prinsip dasar lembaga pendidikan ini. Tertib dan Damai menjadi

tujuan tertingginya. Tidak ada ketertiban yang terjadi di masyarakat apabila tidak

ada perdamaian. Akan tetapi juga tidak akan ada perdamaian selama individu

dihalangi dalam mengungkapan kehidupan normalnya. Pertumbuhan alami,

merupakan tuntutan yang dibutuhkan bagi pengembangan diri seseorang. Dengan
demikian, lembaga ini menolak pengertian “pengajaran” dalam arti “pembentukan

watak anak secara disengaja” dengan tiga istilah “pemerintah – patuh – tertib”.

Metode pengajaran yang dianut memerlukan perhatian menyeluruh yang menjadi

syarat bagi pengembangan diri demi pengembangan akhlak, jiwa dan raga anak.
Perhatian inilah yang disebut sebagai “sistem among”. Siswa yang mandiri.

Sistem ini diterapkan untuk mendidik Siswa menjadi mahluk yang bisa

merasa, berpikir dan bertindak mandiri. Di samping memberikan pengetahuan

yang diperlukan dan bermanfaat, guru perlu membuat siswa cakap dalam mencari

sendiri pengetahuannya dan menggunakannya agar diperoleh manfaat. Inilah

pengutamaan sistem pendidikan among. Pengetahuan yang diperlukan dan

bermanfaat adalah pengetahuan yang sesuai kebutuhan ideal dan material dari

manusia sebagai warga di lingkungannya.

Pendidikan yang mencerahkan masyarakat. Sehubungan dengan masa

depan, anggota masyarakat harus diberikan pencerahan. Sebagai akibat dari

kebutuhan yang menumpuk, yang sulit dipenuhi dengan sarana sendiri sebagai

akibat pengaruh peradaban asing, lembaga pendidikan ini harus sering

bekerjasama dalam mengatasi gangguan perdamaian. Sebagian dari kaum

bumiputera tidak merasa puas. Juga sebagai akibat dari ketersesatan sistem

pendidikan itu. Lembaga pendidikan ini harus mencari perkembangan intelektual

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 14

yang timpang, yang menjadikan kaum bumiputera tergantung secara ekonomi dan
juga membuat terasing dari rakyat yang menjadi bagian dari pemerintah kolonial.
Dalam kebingungan ini mereka menjadikan budaya Eropa sebagai titik tolak,
sehingga Taman Siswa dapat mengambil langkah maju. Atas dasar peradaban
sendiri, hanya pembangunan dalam kondisi damai bisa terwujud;

Pendidikan harus mencakup wilayah yang luas. Tidak ada pendidikan
betapapun tingginya juga yang bisa membawa dampak bermanfaat bila hanya
mencapai kehidupan sosial yang bertahan secara sesaat. Pendidikan harus
mencakup wilayah yang luas. Kekuatan suatu negara merupakan kumpulan dari
kekuatan individu. Perluasan pendidikan rakyat terletak dalam usaha lembaga ini;

Perjuangan menuntut kemandirian. Perjuangan setiap prinsip menuntut
kemandirian. Oleh karenanya kaum bumiputera jangan mengharapkan bantuan
dan pertolongan orang lain, termasuk di dalamnya untuk mewujudkan
kemerdekaan. Dengan senang lembaga ini menerima bantuan dari orang lain
akan, tetapi menghindari apa yang bisa mengikatnya. Jadi Taman Siswa ingin
bebas dari ikatan yang menindas dan tradisi yang menekan dan tumbuh dalam
kekuatan dan kesadaran kaum bumiputera.

Sistem ketahanan diri. Bila bangsa ini bisa bertumpu pada kemampuan
sendiri, semboyannya cukup sederhana. Tidak ada persoalan di dunia yang
mampu bekerja sendiri. Persoalan itu tidak akan bertahan lama. Mereka tidak bisa
bertahan sendiri karena sangat bergantung dari kaum bumiputera. Atas semua
yang sudah terjadi selama ini, akan muncul “sistem ketahanan diri” sebagai
metode kerja lembaga pendidikan ini.

Pendidikan anak-anak. Lembaga ini bebas dari ikatan, bersih dari
praduga. Tujuan lembaga ini adalah mendidik anak-anak. Bangsa bumiputera
tidak meminta hak, akan tetapi meminta diberikan kesempatan untuk melayani
anak-anak.‟Pada 1921, Taman Siswa di Yogyakarta disiapkan, dan pada 1922
didirikan secara permanen. Sekolah ini muncul sebagai “perguruan pendidikan
nasional”.

Segera di berbagai tempat, sekolah-sekolah Taman Siswa berdiri, terutama
setelah pendirinya berceramah di kota-kota besar di Jawa, sehingga prinsip
Taman Siswa dapat diuraikan secara panjang lebar. Sebagai pedoman telah
diterima semboyan “kembali dari Barat menuju nasional” dengan penggunaan
bahasa ibu sebagai pengantar pendidikan yang akan berdampak dalam
menjalankan ibadah agama, penghapusan permainan dan lagu-lagu anak-anak
Belanda dan menggantinya dengan model nasional.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 15

Sebagai sekolah nasional jauh lebih banyak yang akan diberikan budaya
sendiri daripada di lembaga lain (bahasa, sejarah, moral, musik, tari dan
sebagainya). Apabila tidak ada bahasa ibu yang masih murni, (seperti di Batavia
misalnya), sebagai pengantar akan digunakan bahasa Melayu baru yang disebut
bahasa Indonesia. Beberapa mata pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda,
untuk melatih siswa dalam penggunaan praktis bahasa itu. Juga kadang-kadang
bahasa Jawa atau bahasa Melayu masih sulit untuk diterima. Sehubungan dengan
pendidikan bahasa, aturan dalam kurikulum ini berbunyi: bahasa ibu sebagai
pengantar, terutama untuk kelas rendah, pendidikan dalam bahasa Belanda dan
bahasa Melayu berlangsung di kelas yang lebih tinggi dari sekolah dasar.

Dalam bahasa terletak semua yang tersimpan, apa yang dimiliki rakyat dari
nilai kebatinan. Bahasa sendiri akan memberi anak sebagai jalan masuk menuju
ke hati rakyat. Bila pendidikan berjalan dengan baik, pasti akan terjadi pengalihan
budaya. Penguasaan bahasa rakyat sendiri menjadi syarat pertama karena hanya
dengan itu rakyat bisa merasakan kebudayaannya sendiri. Hal ini menjadi suatu
syarat demi munculnya rasa kasih terhadap budaya sendiri, yang merupakan
faktor penting dalam usaha untuk pengembangan budaya, menuju pengembangan
lebih lanjut. Sehubungan dengan ini, dalam sistem among berlaku prinsip bahwa
pendidikan harus dilaksanakan dalam bahasa ibunya sendiri. Terutama bagi anak
kecil, penggunaan bahasa daerah dalam pendidikan dianggap sangat penting,
karena pendidikan baru bisa hidup. Hantu, mitos dan legenda bisa dikisahkan
kepada anak ketika mereka masih sangat peka. Jadi anak hidup dalam fantasinya
dengan rakyatnya sendiri dan ikut terlibat dalam penilaian rohani sejauh daya
tangkapnya memungkinkan.

Penggunaan bahasa ibu merupakan suatu tuntutan untuk meletakkan
dasar yang kuat bagi proses berpikir. Jadi pendidikan dengan menggunakan
bahasa asing diperlukan pada usia yang lebih tinggi, bila anak sudah mampu
menguasai bahasa mereka sendiri. Di tingkat Taman kanak-kanak, masih belum
ada pendidikan bahasa asing yang diberikan.

Sistem among menganggap permainan anak memegang peranan penting
dalam mendidik anak, karena semuanya terletak dalam jiwa anak itu sendiri. Hal
ini sesuai dengan fantasi mereka dan dorongan bagi kegiatan dan gerak motorik
mereka. Tidak ada yang lebih alami dari pada anak bisa memperoleh
permainannya sendiri yang berasal dari lingkungannya sendiri. Jadi anak tetap
berada dalam lingkup rakyatnya sendiri. Jika sebaliknya anak menerima
permainan asing, maka akan tertanamkan inti pemisahan dari bangsanya sendiri.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 16

Melalui pemainan nasional, pemikiran anak secara alami tumbuh bersama

kehidupan rakyatnya.

Watak nasional Taman Siswa mengakibatkan orang memperkenalkan anak

dengan ide nasional yang tertanam pada rasa kasih kepada bangsa dan tanah

airnya sendiri. Namun ide nasional itu tidak disertai dengan kebencian terhadap

bangsa lain, karena akan menjadi penghambat dalam perkembangan terhadap

kesadaran kasih bagi kemanusiaan. Oleh karenanya, menurut pandangan Taman

Siswa nasionalisme tidak bertentangan dengan kemanusiaan. Azas Taman Siswa

adalah kemanusiaan dengan sifat kebangsaan.

Dalam Poesara, majalah Taman Siswa terbitan Maret 1933, Ki Hadjar
Dewantara menulis artikel dengan judul “Kembali ke ladang”. Ki Hadjar Dewantara

menggambarkan hubungan Taman Siswa dengan pergerakan politik sebagai
berikut: “Taman Siswa dan selanjutnya juga dalam setiap karya sosial, ladang

atau sawah tempat orang menanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,

pergerakan politik nasional menjadi pagar, pagar untuk melindungi ladang agar
tanaman di ladang tidak diganggu oleh hewan liar atau dicuri oleh orang asing.”

Bisa dikatakan bahwa Taman Siswa tidak ikut campur dalam bidang politik.

Pergerakan politik nasional harus memperhatikan agar orang tidak menghambat

tumbuhnya sekolah nasional, sehingga pembinaan terhadap pemuda secara

nasional tidak terganggu. Hal inilah yang menjadi inti pembangunan nasional.

Politik tidak diizinkan di sekolah. Ada larangan keras bagi guru untuk membawa

politik ke ranah sekolah, karena Taman Siswa menduga bahwa politik tidak boleh

mengorbankan anak-anak kecil. Orang tidak boleh memasukkan suasana politis di

sekolah. Dalam kaitan ini tidak ada lagi keterlibatan dalam politik, atau politik

praktis. Politik harus dibatasi oleh tenaga pengajar dan diatur. Orang bisa terlibat

dalam partai politik sebagai tenaga pengajar Taman Siswa, tetapi orang harus

memperhitungkan semua yang disebutkan di atas. Saat itu di Taman Siswa juga

berlaku aturan bahwa setiap guru mengucapkan janjinya bahwa dia perlu

mengutamakan kepentingan sekolah dan bukan kepentingan lainnya. Taman

Siswa menuntut guru agar bisa mencurahkan jiwanya untuk mendidik anak. Ini

hanya akan terjadi bila orang menganggap karyanya untuk pendidikan dan

mngembangan Taman Siswa sebagai tujuan nomor satu. Taman Siswa menuntut
lebih banyak karena berdasarkan “ide Paguron” yang dianut oleh Taman Siswa.

Guru melihat tugas hidupnya dalam karya pendidikan.

Taman Siswa ingin tetap menjaga jarak dari politik, atas dasar pedagogis.

Apabila pada saat tertentu disinggung tentang warna politik Taman Siswa, maka

ini biasanya dianggap berasal dari para pelakunya. Akan tetapi Taman Siswa

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 17

sendiri bisa merujuk pada tata tertib yang telah ada. Taman Siswa merasa wajib
dengan tujuan untuk tetap setia kepada prinsipnya, yakni melayani anak-anak.

Prinsip kemanusiaan, tidak diabaikan oleh Taman Siswa dalam usaha
menanamkan jiwa nasionalisme. Prinsip moral membatasi pelaksanaan ide
nasionalis. Tanpa itu, Taman Siswa tidak bisa menjadi lembaga pendidikan.
Dengan demikian yang penting adalah pernyataan bahwa pada tahun 1921 dalam
pendirian Taman Siswa digunakan semboyan “Suci Ngesti Tata Tunggal”, yang
berarti kemurnian dan ketertiban berjuang demi kesempurnaan, dan menurut versi
Jawa bersama menunjuk angka tahun 1854 Caka.

Tata tertib telah diatur secara jelas. Hal ini terbukti dari kenyataan, bahwa
hari peringatan Diponegoro sebagai pahlawan nasional di semua lembaga sekolah
Taman Siswa diadakan pada tangal 8 Februari. Pada setiap tanggal itu, tidak
diselenggarakan kegiatan sekolah. Sementara itu, pada hari besar nasional
(Belanda), semua sekolah Taman Siswa terpaksa ditutup. Di gedung-gedung tidak
ada bendera dikibarkan, tenaga pengajar tidak ikut terlibat dalam upacara, para
murid sebaliknya dibebaskan jika mau untuk ikut terlibat. Di banyak sekolah
Taman Siswa, selain “lagu-lagu nasional”, lagu Indonesia Raya juga dilantunkan.

Taman Siswa memiliki visi bahwa hanya ada perkembangan alami apabila
anak dididik: Sesuai dengan kondisi alam materi; Atas dara bakat alamnya; Sesuai
kondisi alamnya. Dalam alam, pusat pendidikan utama terletak pada keluarga.
Ayah dan ibu merupakan pendidik anak yang paling utama. Suatu pandangan
alami tertentu untuk mendidik selalu terpusat pada ayah atau ibu. Pandangan ini
menjadikan keluarga sebagai pusat pendidikan alami. Pandangan ini menghendaki
sistem among dialihkan kepada Paguron, di sekolah. Dari sana Taman Siswa
dalam organisasinya tampil sebagai “keluarga besar dan suci”. Keluarga ini pada
dasarnya berbeda dari keluarga alami.

Keluarga alami didasarkan pada hubungan darah. Taman Siswa
didasarkan sebagai “keluarga” atas hubungan roh. Hubungan roh di sini
menunjukkan bahwa di Taman Siswa orang bisa saling merasa dirinya sebagai
saudara, atas dasar kenyataan bahwa orang menganut ide yang sama. Juga
hubungan keluarga yang membuat hubungan antara majikan dan pekerja tidak
dapat diterima di Taman Siswa. Sebagai anggota dari keluarga yang sama, orang
berjuang demi tujuan yang sama, dan untuk gagasan yang sama. Sewajarnya ada
kepemimpinan, seperti dalam keluarga. Demikian pula dalam Taman Siswa
kepemimpinan dipegang oleh orangtua, bukan menurut ukuran raga melainkan
menurut ukuran jiwa.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 18

Di sekolah setiap Siswa bisa menyebut gurunya dengan “bapak” atau “ibu”

sesuai pengajar pria atau wanita. Bentuk- bentuk fisik yang bukannya tanpa

pengaruh muncul pada hubungan antara guru dan Siswa. Pada tahun-tahun
pertama anak merasa sangat dekat dengan ibunya. Unsur “keibuan” juga ingin

ditetapkan dalam sistem among di sekolah. Di Taman Anak, di mana anak-anak

mencapai usia 9 tahun, diberi pelajaran oleh guru perempuan.
Sekolah menyebut dirinya “perguruan” (paguron). Ditarik dari kata “guru”

(pengajar). Kata ini secara harafiah berarti: tempat dimana guru tinggal. Orang
juga bisa menarik makna dari kata “berguru” (meguru), yakni belajar, kemudian
perlu diberikan pemahaman belajar pada kata itu. Sering kata “paguron”

memperoleh makna belajar sendiri, yakni karena bila sosok guru menjadi unsur

yang dominan, maka paguron berarti arah perguruan ditunjukkan di situ.

Taman Siswa menyebut kata ini dalam tiga makna. Paguron berarti: pusat

belajar dengan arah tertentu sekaligus rumah guru. Menurut sistem pendidikan

Jawa lama, juga Indonesia lama, mungkin Asia pada umumnya, sekolah juga

menjadi rumah guru. Di sana dia tinggal selamanya; dia memberikan namanya,

atau lebih tepat lagi dikatakan orang menyebut dusun itu dari namanya.
Dalam “rumah sekolah Taman Siswa ideal”, para murid selama pagi, siang

dan malam sibuk dengan belajar, dengan olah raga atau olah seni, di bawah

bimbingan para gurunya. Semuanya tinggal dengan keluarga mereka. Kurikulum

pagi biasa tidak terlalu penting dibandingkan dengan kebersamaan murid dan guru

selama ini sampai larut malam. Kenyataan tidak bisa dibantah bahwa para murid

mengalami kehidupan keluarga yang sama dalam asrama (sebuah nama lain bagi

paguron dalam masa Hindu-Jawa) seperti di rumah bersama ayah dan ibunya.
Yang dimaksudkan kata “among” dalam bahasa Jawa adalah

“membimbing”. Dalam kehidupan sehari-hari kata ini digunakan bagi hubungan

pengasuh yang diserahi tugas membimbing anak kecil. Dalam wayang istilah ini

ditemukan kembali pada hubungan panakawan, khususnya Semar dengan Arjuna.

Akan tetapi dalam prinsip yang dianut oleh Taman Siswa kondisinya sedikit

berbeda, lebih dalam lagi dan harus dihubungkan dengan pandangannya tentang

tugas manusia di dunia ini.

Di Taman Siswa perlu dibedakan tiga periode perkembangan anak sejak

lahir sampai dewasa. Setiap periode mencakup waktu delapan tahun (windu).
Windu pertama disebut “zaman wiraga” (wi = mengikuti, raga = fisik). Hal ini

merupakan masa perkembangan fisik dan bagian tubuh lainnya. Windu kedua
disebut “zaman wicipta”. Periode ini merupakan perkembangan daya intelektual

anak, yang sangat mempengaruhi sifat pemahamannya. Windu ketiga disebut

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 19

„zaman wirama” (wirama = keharmonisan). Ini merupakan masa penyesuaian

dengan dunia luar, di mana anak akan menentukan tempat yang akan didudukinya

di sana. Setelah masa ini, anak menjadi dewasa. Pada masa ini anak sudah

mencapai usia sekitar 23 tahun.

Perjuangan Ki Hajar Dewantara tidak hanya melalui Taman siswa, sebagai

penulis, Ki Hajar Dewantara tetap produktif menulis untuk berbagai surat kabar.

Hanya saja kali ini tulisannya tidak bernuansa politik, namun beralih ke bidang

pendidikan dan kebudayaan. Tulisan KI Hajar Dewantara berisi konsep-konsep

pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Melalui konsep-

konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi

bangsa Indonesia.

Dalam perjuangannya terhadap pendidikan bangsanya, KHD mempunyai

Semboyan yaitu tut wuri handayani (dari belakang seorang Guru harus bisa

memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di

antara murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung

tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan

baik). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita, terutama di

sekolah-sekolah Taman Siswa. Pada masa pendudukan Jepang, Ki Hajar

Dewantara diangkat sebagai salah satu pimpinan pada organisasi Putera

bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas

Mansur. Dimasa kemerdekaan Ki Hajar Dewantara dingkat sebagai Menteri

Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Perjuangan Ki Hajar

Dewantara terhadap pendidikan Indonesia membuat beliau layak di anugerahi

gelar pahlawan pendidikan Indonesia. Tak berlebihan pula jika tanggal lahir beliau,

2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional untuk mengenang dan sebagai

penyemangat bagi kita untuk meneruskan prakarsa dan pemikiran-pemikiran

beliau terhadap pendidikan Indonesia. Substansi Gagasan Filosofi Pendidikan

KHD Terbelenggu dalam pusaran tirani penjajahan Belanda, telah mendorong

KHD untuk memaknai pendidikan secara filosofi sebagai upaya memerdekakan

manusia dalam aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), dan batiniah (otonomi

berpikir dan mengambil filosofis seperti hakikat kehidupan yang baik, kemana

pendidikan diarahkan. Sebuah filosofi memiliki bagian yang penting yaitu mencari

sebuah norma-norma serta tujuan. Dengan itu filosofi dapat mendorong manusia

memperluas bidang kesadaran untuk menjadi lebih baik, lebih cerdas dan lebih

aktif. Selain itu dapat menumbuhkan keyakinan akan agama dengan fondasi yang

matang secara intelektual dalam diri manusia. Bagi KHD, para Guru hendaknya

menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 20

menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik

untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan

sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figur

keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu,

nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai Guru yang mengajarkan

kebaikan, keluhuran, keutamaan. Menurut KHD, pendidikan adalah tuntunan di

dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun tujuannya adalah menuntun segala

kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan

anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-

tingginya. Dengan berbagai ide yang dimiliki dari KHD ada satu konsep yang

terlupakan. KHD pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding. Kalau kita

mengingat masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-

rata adalah persegi empat. Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya

dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-

main filosofinya. Dengan ada satu dinding yang terbuka, maka seolah hendak

menegaskan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di

luar. Coba bandingkan dengan bentuk kelas kita dulu saat kecil. Empat dinding

tembok, dengan jendela tinggi-tinggi, sehingga kita yang masih kecil tidak bisa

melihat keluar. Lalu biasanya di dinding digantungi foto-foto pahlawan perang yang

angker-angker, dari Patimura, Teuku Umar, Diponegoro sampai Sultan Hasanudin.

Jarang sekali ada yang memasang foto pujangga masa lalu seperti Buya Hamka,

Ranggawarsito, Marah Rusli, dll. Paling-paling pujangga yang sempat diingat

anak-anak SD adalah WR Supratman. Konsep menyatunya kelas tempat belajar

dengan realitas yang ditawarkan Ki Hajar, mungkin memang bukan orisinil dari

Beliau. Mungkin konsep ini sudah ada sebelumnya KHD hidup. Namun ketika KHD

merumuskan konsep ini dengan istilah 3 dinding, menunjukkan betapa luasnya

wawasan Beliau dan mampu mengadaptasi konsep tersebut dalam budaya

Indonesia.

Banyak karya beliau yang menjadi landasan rakyat Indonesia dalam

mengembangkan pendidikan, khususnya kalimat filosofis (selain dari konsep 3

dinding diatas) seperti ING NGARSO SUNTOLODO, ING MADYO MANGUN

KARSO, TUT WURI HANDAYANI (Di depan memberi teladan, di tengah memberi

bimbingan, di belakang memberi dorongan). Menurut Ki Hajar Dewantara,

Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anakanak, adapun

maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada

anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat

dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Lingkungan

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 21

pendidikan meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan

organisasi pemuda, yang ia sebut dengan Tri Pusat Pendidikan. a. Lingkungan

Keluarga (Primary Community); Pendidikan Keluarga berfungsi: (1). Sebagai

pengalaman pertama masa kanak-kanak, (2). Menjamin kehidupan emosional

anak, (3). Menanamkan dasar pendidikan moral, (4). Memberikan dasar

pendidikan sosial, dan (5). Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-

anak. b. Lingkungan Sekolah; Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan

oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan

berbagai macam keterampilan. Karena jika ditilik dari sejarah perkembangan

profesi guru, tugas mengajar sebenarnya adalah pelimpahan dari tugas orang tua

karena tidak mampu lagi memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap

tertentu sesuai dengan perkembangan zaman. Fungsi Sekolah antara lain: (1)

Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta

menanamkan budi pekerti yang baik, (2) Sekolah memberikan pendidikan untuk

kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah,

(3) Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti

membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain yang sifatnya

mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan, (4). Di sekolah diberikan

pelajaran etika , keagamaan, estetika, membedakan moral, (5). Memelihara

warisan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan menyampaikan

warisan kebudayaan kepada generasi muda, dalam hal ini tentunya anak didik. c.

Lingkungan Organisasi Pemuda. Peran organisasi pemuda yang terutama adalah

mengupayakan pengembangan sosialisasi kehidupan pemuda. Melalui organisasi

pemuda berkembanglah semacam kesadaran sosial, kecakapan-kecakapan di

dalam pergaulan dengan sesama kawan dan sikap yang tepat di dalam membina

hubungan dengan sesama manusia. KHD senantiasa melihat manusia lebih pada

sisi kehidupan psikologiknya, karena manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa

dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua

daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu

daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia.

Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual

belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata

pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya

cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika

berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang

membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya,

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 22

sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif

untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan

kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. KHD

sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya

dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu

dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria,

yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara.

Bagi KHD, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian

dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan

juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa.

Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah

fungsinya sebagai model atau figur keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator

atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna

sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau

Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan

keimanan, sekaligus masalah-masalah kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai

Semar yang sukses menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan

kehendak Tuhan di dunia ini. Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan

maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu

menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Manusia merdeka

adalah tujuan dari pendidikan nasional kita. Merdeka baik secara fisik, mental dan

kerohanian. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana

yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan

penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu

hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk

menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual.

Pendidikan juga hendaknya tidak hanya sekedar mengembangkan aspek

intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan. Pendidikan

hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing

pribadi harus tetap dipertimbangkan. Pendidikan hendaknya memperkuat rasa

percaya diri, mengembangkan hara diri. Setiap orang harus hidup sederhana dan

guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi

kebahagiaan para peserta didiknya. Metode yang yang sesuai dengan sistem

pendidikan ini menurut KHD adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan

pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Guru yang efektif

memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan

komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 23

dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait);

segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap

profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan

untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos

kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam

melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan

dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik,

intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu

menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang

profesional, produktif dan kolaboratif demi memerdekakan manusia secara utuh

setiap peserta didik.

Ketika Soewardi kembali dari pengasingan Negara Belanda ke Indonesia

pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah

binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk

mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3

Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional

Tamansiswa. Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat

dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam

bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri

handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang

memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan

rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa. Semboyan

itu menggambarkan peran seorang guru atau pendidik dalam dunia pendidikan.

Kumpulan peran yang cukup lengkap, yaitu: menjadi teladan, memberikan

semangat, dan memberikan dorongan. Luar biasa sebenarnya seorang guru itu,

bila dimaknai dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan berpengaruh

sangat bagus kepada anak didiknya. Dari ketiga semboyan tersebut yang paling

banyak kita kenal sekarang adalah Tut Wuri Handayani, biasanya tertulis di topi

siswa SD sampai dengan SLTA. Tapi sampai sekarang kenapa yang lebih populer

semboyan Tut Wuri Handayani (dari belakang mendorong) bukan Ing Ngarso

Sungtulodo (dari depan memberikan teladan) ataupun Ing Madya Mangunkarso

(dari tengah memberikan semangat). Menurut KHD, dalam pendidikan perlu

ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan

tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah

dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga

menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan

pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 24

manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang. Inilah yang

menurut KHD harus dikembangkan karena pendidikan juga menyangkut daya
cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Singkatnya, “educate
the head, the heart, and the hand !”

Pendidikan adalah suatu proses yang bertujuan untuk mengembangkan

potensi-potensi individu (peserta didik) baik potensi fisik maupun potensi cipta,

rasa, maupun karsanya agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam

perjalanan hidupnya. Filsafat erat kaitannya dengan pendidikan, karena filsafat

merupakan akar dari segala macam ilmu termasuk ilmu pendidikan. Peranan

filsafat sangat terlihat dari digunakannya filsafat sebagai cara pandang dalam

memecahkan permasalahan yang tidak bisa diatasi dengan teoritik. Salah satu

tokoh yang dapat direpresentatifkan dengan pendidikan di Indonesia adalah KHD.

Tidak dipungkiri bahwa beliau memiliki andil yang besar dalam perkembangan

pendidikan di Indonesia. Hal ini dipastikan dengan diraihnya gelar sebagai Bapak

Pendidikan Nasional, dan tanggal lahirnya yakni, 2 Mei diperingati sebagai hari

Pendidikan Nasional.

Sebelum membahas lebih jauh filsafat KHD tentang pendidikan di

Indonesia kita ketahui dulu makna filsafat dari nama Ki Hajar. Nama Hajar

Dewantara sendiri memiliki makna sebagai Guru yang mengajarkan kebaikan,

keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki

kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial

kemasyarakatan. Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka Guru

sejati seharusnya berwatak pandita, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan

dan membawa keselamatan. Semboyan pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar
Dewantara adalah “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani”, yang dapat diartikan sebagai: Ing ngarso sung tulodho : seorang

pemimpin apabila di depan harus bisa memberikan contoh atau menjadi panutan

bagi yang dipimpin (warga atau peserta didik). Ing madyo mangun karso : seorang

pemimpin apabila berada di tengah-tengah masyarakat harus bisa membangkitkan

semangat atau memberi motivasi supaya lebih maju, atau lebih baik. Tut wuri

handayani : seorang pemimpin apabila berada di belakang harus bisa mendorong

yang dipimpin supaya senantiasa lebih maju. Dasar yang paling penting dalam

pendidikan menurut KHD adalah adanya persamaan persepsi antara penegak
atau pemimpin pendidikan tentang arti “mendidik” itu sendiri. Beliau menyatakan

bahwa mendidik itu bersifat humanisasi, yakni mendidik adalah proses

memanusiakan manusia dengan adanya pendidikan diharapkan derajat hidup

manusia bisa bergerak vertikal ke taraf insani yang lebih baik dari sebelumnya.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 25

Dalam konsep pendidikan KHD ada dua hal yang harus dibedakan yaitu,
“Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Adapun

menurut beliau pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup

lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan mengarah pada

memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil

keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Jadi jelaslah bahwa manusia yang

merdeka adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak terganggu

kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya

sendiri. Artinya sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup

mandiri dan berpikir sendiri. Sistem pendidikan yang sebenarnya adalah bersifat

mengasuh, melindungi, dan meneladani. Maka untuk dapat mencapai ini perlulah
ketetapan pikiran dan batin yang akan menentukan kualitas seseorang. “Sifat

umum pendidikan yang beliau canangkan adalah segala daya-upaya untuk

memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran,

(intelect), dan tubuh anak: dalam pengertian taman siswa tidak boleh dipisah-

pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup,

yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan
dunia-nya.”

Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa makna kata pendidikan jauh

lebih luas daripada pengajaran. Pendidikan mencakup manusia seutuhnya, baik itu

pendidikan intelektual, moralitas (nilai-nilai), dan budi pekerti. Pendidikan menurut

paham ini adalah pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari bangsanya dan

ditujukan untuk keperluan prikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara

dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa lain demi

kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.

Konsep-konsep pendidikan KHD dapat diterjemahkan bahwasanya

pendidikan di Indonesia haruslah memiliki tiga landasan filosofis, yaitu:

nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan

independen baik secara politis, ekonomis, universalistik dan spiritualistik. Universal

artinya berdasarkan pada hukum alam, segala sesuatu merupakan perwujudan

dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, pendidikan

hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen

secara fisik dan mental. Spiritual, yaitu pendidikan hendaknya tidak hanya

mengembangkan aspek intelektual saja namun pendidikan hendaknya juga

memperkuat rasa percaya diri, dan mengembangkan harga diri.

Dalam pemikiran KHD metode yang sesuai dengan sistem pendidikan ini

adalah sistem among, yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 26

pada asih, asah, dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi kepala,

hati, dan panca indera. Sehingga output pendidikan yang dihasilkan adalah

peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas,

menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggung jawab atas

kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Orientasi asas dan dasar

pendidikan dari Ki Hajar Dewantara diupayakan sebagai asas perjuangan yang

diperlukan pada waktu itu. Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah

dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila

diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di

dalam mendidik peserta didik supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja

merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk

diperoleh dalam perkembangan kodrati.

Hak mengatur diri sendiri berdiri bersama dengan tertib, damai dan

bertumbuh menurut kodrat. Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi
anak-anak yang disebut “among metode”, yang salah atu seginya ialah

mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi

mempengaruhi dengan memberi kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri.

Maka dengan demikian pendidikan di Indonesia akan tetap dan selalu berproses

berdasarkan semboyan “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut

wuri handayani” Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar

manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan

teknologi. Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga

melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun

relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat,

pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya.

Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi

dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan

teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi

manusia. Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan

seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang

menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar

pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu.

Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi

manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya,

sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara

menyangkut daya cipta atau (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa

(konatif)). Mereka asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 27

barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung

melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin

melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran

hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas

ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia.

Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek

kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada

sisi kehidupan psikologisnya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta,

karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan

semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada

satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai

manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek

intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan

ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan

daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika

berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari

titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya

dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk

lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan

manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya.

Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah
kebudayaan berlaku pepatah: ”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.”

Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya

sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu

sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. KHD sendiri

dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam

melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari

pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang

mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi

KHD, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan

kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga

menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan

kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya

sebagai model atau figur keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau

pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai

guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 28

Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan

keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah

Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan

kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan

maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu

menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Manusia merdeka

adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan

kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya

kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan,

kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab

dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun

budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka

dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-

aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik.

Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan

independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya

berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan

perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan,

merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian

tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia

pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati,

empati, cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka

hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu

peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan

spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual

sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya

memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus

tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri,

mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru

hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi

kebahagiaan para peserta didiknya.

Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian

merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang

berguna, dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan

orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem

among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih,

asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 29

manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan

selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan

menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi KHD pepatah ini
sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”. Guru yang efektif

memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan

komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi

dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait);

segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap

profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan

untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos

kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam

melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan

dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik,

intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu

menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang

profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap

peserta didik.

Implikasi Filosofi Pendidikan KHD dasar yang paling penting dalam

pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah adanya persamaan persepsi
antara penegak atau pemimpin pendidikan tentang arti “mendidik” itu sendiri. KHD

mengatakan bahwa; Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud

memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat

pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir

batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987: 12). Sedang yang

dimaksud adab kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh

manusia yang berkembang selama hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai

kepribadian seseorang atau karakter seseorang, maka adab kemanusiaan adalah

tingkat yang tertinggi. Dari definisi pendidikan tersebut terdapat dua kalimat kunci

yaitu tersebut dapat dimaknai bahwa manusia bereksistensi ragawi dan rokhani

atau berwujud raga dan jiwa. Adapun pengertian jiwa dalam budaya bangsa
meliputi “ngerti, ngrasa, lan nglakoni” (cipta, rasa, dan karsa). Kalau digunakan

dalam istilah psikologi, ada kesesuaiannya dengan aspek atau domain kognitif,

domain emosi, dan domain psikomotorik atau konatif. KHD lebih lanjut

menegaskan bahwa pendidikan itu suatu tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-

anak. Ini berarti bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan

atau kehendak para pendidik. Anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia,

sebagai benda hidup teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 30

Seperti yang termaktub di muka, maka apa yang dikatakan kekuatan kodrati yang

ada pada anak itu tidak lain ialah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup

lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuatan kodrat. Kaum pendidik hanya

dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat

memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Berdasarkan

konsepsi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa KHD ingin; a) menempatkan

anak didik sebagai pusat pendidikan, b) memandang pendidikan sebagai suatu

proses yang dengan demikian bersifat dinamis, dan c) mengutamakan

keseimbangan antar cipta, rasa, dan karsa dalam diri anak. Dengan demikian

pendidikan yang dimaksud oleh KHD memperhatikan keseimbangan cipta, rasa,

dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau transfer of

knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformasi nilai

(transformation of value). Dengan kata lain pendidikan adalah proses pembetukan

karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia. Dalam proses tumbuh

kembangnya seorang anak, KHD memandang adanya tiga pusat pendidikan yang
memiliki peranan besar. Semua ini disebut “Tripusat Pendidikan”. Tripusat

Pendidikan mengakui adanya pusat-pusat pendidikan yaitu; 1) Pendidikan di

lingkungan keluarga, 2) Pendidikan di lingkungan perguruan, dan 3) Pendidikan di

lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda. Alam keluarga adalah pusat

pendidikan yang pertama dan terpenting. Sejak timbul adab kemanusiaan hingga

kini, hidup keluarga selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti atau karakter

dari tiap-tiap manusia. Alam perguruan merupakan pusat perguruan yang

teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan

intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata). Alam

kemasyarakatan atau alam pemuda merupakan kancah pemuda untuk beraktivitas

dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya. Ketiga lingkungan

pendidikan tersebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya, sehingga tidak

bisa dipisah-pisahkan, dan memerlukan kerjasama yang sebaik-baiknya, untuk

memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang dicita-citakan. Hubungan

sekolah (perguruan) dengan rumah anak didik sangat erat, sehingga

berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti serta diamati, agar

dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pamong sebagai

pimpinan harus bertindak tutwuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing

ngarsa sung tuladha yaitu; mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh,

berada di tengah memberi semangat, berada di depan menjadi teladan.

Selain tripusat pendidikan KHD mengemukakan ajaran Trikon. Teori Trikon

merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang mengandung tiga unsur

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 31

yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi. a) Dasar kontinuitas berarti

bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya kontinu,

bersambung tak putus-putus. Dengan perkembangan dan kemajuan kebudayaan,

garis hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu

bangsa ditarik terus. Bukan loncatan terputus-putus dari garis asalnya. Loncatan

putus-putus akan kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa ialah lanjutan

dari garis hidup asalnya, yang ditarik terus dengan menerima nilai-nilai baru dari

perkembangan sendiri maupun dari luar. Jadi kontinuitas dapat diartikan bahwa

dalam mengembangkan dan membina karakter bangsa harus merupakan

kelanjutan dari budaya sendiri. b) Dasar konsentris berarti bahwa dalam

mengembangkan kebudayaan harus bersikap terbuka, namun kritis dan selektif

terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar kita. Hanya unsur-unsur yang dapat

memperkaya dan mempertinggi mutu kebudayaan saja yang dapat diambil dan

diterima, setelah dicerna dan disesuaikan dengan kepribadian bangsa. Hal ini

merekomendasikan bahwa pembentukan karakter harus berakar pada budaya

bangsa, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk mengakomodir budaya luar

yang baik dan selaras dengan budaya bangsa. c) Dasar konvergensi mempunyai

arti bahwa dalam membina karakter bangsa, bersama-sama bangsa lain

diusahakan terbinanya karakter dunia sebagai kebudayaan kesatuan umat

sedunia (konvergen), tanpa mengorbankan kepribadian atau identitas bangsa

masing-masing. Kekhususan kebudayaan bangsa Indonesia tidak harus

ditiadakan, demi membangun kebudayaan dunia. Berdasarkan pernyataan di atas

dapat diambil kesimpulan bahwa dalam mengembangkan karakter dan membina

kebudayaan bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas)

menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus

memiliki dan membina sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia

(konsentrisitas). Dengan demikian maka pengaruh terhadap kebudayaan yang

masuk, harus bersikap terbuka, disertai sikap selektif sehingga tidak

menghilangkan identitas sendiri. Dalam pelaksanaan pendidikan, KHD

menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam

menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam Sistem Among,

maka setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan

bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri

handayani. a) Ing Ngarsa Sung Tuladha Ing ngarsa berarti di depan, atau orang

yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan. Sedangkan tuladha

berarti memberi contoh, memberi teladan. Jadi ing ngarsa sung tuladha

mengandung makna, sebagai pendidik adalah orang yang lebih berpengetahuan

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 32

dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat
dijadikan sebagai “central figur” bagi siswa (Among). b) Ing Madya Mangun Karsa
Mangun karsa berarti membina kehendak, kemauan dan hasrat untuk
mengabdikan diri kepada kepentingan umum, kepada cita-cita yang luhur.
Sedangkan ing madya berarti di tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan
hubungannya sehari-hari secara harmonis dan terbuka. Jadi ing madya mangun
karsa mengandung makna bahwa pamong atau pendidik sebagai pemimpin
hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat, hasrat dan kemauan anak didik
untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang
luhur dan ideal (Momong). c) Tutwuri Handayani Tutwuri berarti mengikuti dari
belakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab berdasarkan cinta
dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative,
possessive, protective dan permissive yang sewenang-wenang. Sedangkan
handayani berarti memberi kebebasan, kesempatan dengan perhatian dan
bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman
sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya (Ngemong).

Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik sebagai “peralatan
pendidikan” dan itu amat banyak, tetapi terdapat beberapa cara yang patut
diperhatikan, yaitu (a). Memberi contoh (voorbeelt), (b). Pembiasaan (pakulinan,
gewoontevorming), (c). Pengajaran (wulang-wuruk), (d). Laku (zelfbeheersching),
(e). Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa) (Ki Hadjar Dewantara dalam
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1977: 28).

B. PROFIL PELAJAR PANCASILA

Rasional
Indonesia telah menetapkan visi yang dikenal sebagai Visi Indonesia 2045.
Dinyatakan bahwa Indonesia menjadi “negara yang berdaulat, maju, adil, dan
makmur.” Visi Indonesia 2045 memiliki empat pilar utama, dan salah satunya sangat
erat berkaitan dengan pendidikan, yaitu “pembangunan manusia dan penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi.” Untuk membangun pilar ini, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan “Merdeka Belajar” di mana seluruh

pemangku kepentingan pendidikan, termasuk siswa, guru, keluarga, institusi

pendidikan, dunia usaha/industri, dan masyarakat bergotong-royong menjadi agen

perubahan. Seluruh pemangku kepentingan mengambil peran untuk mencapai

pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 33

Merdeka Belajar bukanlah visi yang baru dalam pendidikan Indonesia. Ki Hadjar
Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, menyatakan dengan tegas bahwa
kemerdekaan adalah tujuan Pendidikan sekaligus paradigma pendidikan yang perlu
dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan. Ki Hadjar Dewantara menyatakan
bahwa kemerdekaan memiliki makna yang lebih daripada kebebasan hidup. Yang
paling utama dari kemerdekaan adalah kemampuan untuk “hidup dengan kekuatan
sendiri, menuju ke arah tertib-damai serta selamat dan bahagia, berdasarkan
kesusilaan hidup manusia” (2013, h.480). Makna merdeka dalam merdeka belajar,
dengan demikian, bukan semata-mata kebebasan tetapi juga kemampuan,
keberdayaan, untuk mencapai kebahagiaan. Keselamatan dan kebahagiaan ini pun
tidak saja diperoleh dan dirasakan oleh individu, tetapi juga secara kolektif. Inilah visi
Pendidikan Indonesia yang sudah lama dicanangkan, dan dihidupkan kembali dalam
semangat Merdeka Belajar.

Merdeka Belajar perlu dikuatkan kembali terutama karena tantangan yang dihadapi
dunia Pendidikan hari ini semakin kompleks. Bukan saja harus merespon tantangan
yang sedang dihadapi, dunia pendidikan kita juga perlu merespon tantangan-
tantangan yang akan dihadapi di masa-masa mendatang. Perhatian terhadap
tantangan-tantangan pendidikan ini menjadi penting karena Lembaga pendidikan
dipersiapkan untuk melahirkan generasi masa depan yang unggul dan berkarakter.
Generasi Abad 21 Indonesia bukan saja diharapkan dapat memajukan Indonesia dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di masa depan, tetapi juga
berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah global, menjaga
ketertiban dan perdamaian dunia.

Dalam kerangka tersebutlah, Profil Pelajar Pancasila perlu dirumuskan secara
matang sebagai upaya menerjemahkan visi dan tujuan pendidikan yang telah
dirumuskan dalam UU dan dicita-citakan para pemimpin bangsa ke dalam ruang yang
lebih kecil yang bernama lembaga pendidikan (sekolah). Sehingga dengan
berpegang pada Profil Pelajar Pancasila, seluruh pemangku kepentingan, guru,
pelajar dapat memahami secara lebih mudah apa yang sedang dijalankan dan ke
arah mana ia harus menuju.

Sebagai kompas atau north star, Profil Pelajar Pancasila harus mampu menjawab

tantangan kekinian dan yang mungkin muncul di masa mendatang, agar mampu

menyiapkan generasi masa depan yang unggul dan berkarakter. Sekurang-

kurangnya, terdapat empat tantangan besar yang sedang dan tetap akan kita hadapi

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 34

di masa-masa mendatang, yaitu persoalan terkait nilai luhur dan moral bangsa,
kematangan untuk menjadi warga dunia, perwujudan keadilan sosial, serta
kompetensi Abad 21 yang harus dibangun. Berikut ini adalah penjelasan masing-
masing tantangan tersebut.

1. Makna dan Fungsi Profil Pelajar Pancasila

Profil Pelajar Pancasila, yaitu tujuan besar (atau bahkan misi) yang ingin diwujudkan
melalui system pendidikan. Profil lulusan, dalam konteks ini adalah Profil Pelajar
Pancasila, merupakan jawaban dari pertanyaan penting: “karakter serta kemampuan
esensial apa yang perlu dipelajari dan dikembangkan terus-menerus oleh setiap
individu warga negara Indonesia, sejak pendidikan anak usia dini hingga mereka
menamatkan sekolah menengah atas?” Kemampuan esensial yang dimaksud adalah
kemampuan yang tidak lagi melekat pada mata pelajaran, yang bertahan lama
(dibandingkan pengetahuan yang diingat) bahkan hingga individu sudah bertahun-
tahun menyelesaikan sekolah (Posner, 2004).

Jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah rangkaian kemampuan yang lintas batas
ruang lingkup disiplin ilmu (transversal skills). Sebagian pihak menyebutnya sebagai
kompetensi atau keterampilan umum (general skills atau general capabilities) atau
keterampilan yang dapat dialihkan ke dalam konteks yang berbeda-beda
(transferable skills). OECD (2018) menggunakan istilah transformative competencies
atau kompetensi transformatif untuk menjelaskan kompetensi kunci yang perlu dimiliki
setiap individu menuju tantangan 2030. Istilah atau kata kunci tersebut digunakan
dalam kajian ini untuk menelaah kemampuan yang perlu dimasukkan dalam Profil
Pelajar Pancasila. Namun demikian, pertanyaan ini tidak cukup dijawab melalui kajian
literatur tentang praktik baik di tingkat internasional melainkan juga dengan merujuk
pada cita-cita bangsa Indonesia, ideologi dan falsafah Indonesia, serta visi
pendidikan nasional yang telah dicanangkan oleh para pemimpin bangsa.

Profil Pelajar Pancasila juga diibaratkan sebagai bintang utara (north star). Metafora
ini digunakan karena bintang utara posisinya tetap, bahkan ketika bintang-bintang
lainnya bergerak. Bintang utara juga dapat dilihat lebih jelas/terang dibandingkan
bintang lainnya. Oleh karena itu Bintang Utara berguna sebagai navigasi, penunjuk
arah atau patokan ketika orang bergerak. Demikian pula peran profil lulusan dalam
konstelasi kebijakan pendidikan. Profil Pelajar Pancasila merupakan misi yang jelas,
relatif kekal, sehingga dapat dijadikan penunjuk arah yang konsisten meskipun terjadi

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 35

perubahanperubahan kebijakan dan praktik pendidikan. Meskipun kurikulum berubah,
kebijakan tentang asesmen nasional berganti, Profil Pelajar Pancasila menjadi
bintang utara yang tetap. Dengan kata lain, Profil Pelajar Pancasila adalah penentu
arah perubahan dan petunjuk bagi segenap pemangku kepentingan dalam
melakukan upaya peningkatan kualitas pendidikan. Profil Pelajar Pancasila
merupakan cita-cita, tujuan besar pendidikan, dan komitmen penyelenggara
pendidikan dalam membangun sumber daya manusia Indonesia. Profil lulusan adalah
representasi karakter serta kompetensi yang diharapkan terbangun utuh dalam diri
setiap pelajar Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa Profil Pelajar Pancasila merupakan luaran pendidikan
(student outcomes) yang menjadi arah tujuan dari segala upaya peningkatan kualitas
pendidikan nasional dengan merujuk kepada karakter mulia bangsa Indonesia dan
tantangan pendidikan abad 21. Profil Pelajar Pancasila bukanlah cita-cita yang
abstrak, ia perlu dihidupkan dan menjadi bagian dari budaya sekolah. Segenap
komunitas sekolah perlu memahami Profil Pelajar Pancasila secara mendalam untuk
dapat menghidupkannya dalam keseharian dan dalam berbagai kegiatan pendidikan.
Oleh karena itu, rumusan Profil Pelajar Pancasila harus dapat dipahami maknanya
secara utuh.

2. Tujuan Penamaan Profil Pelajar Pancasila

Profil lulusan yang dibangun dinamai “Profil Pelajar Pancasila” dengan tujuan untuk
menguatkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam diri setiap individu pelajar Indonesia. Hal
ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 2 yang menyatakan bahwa
pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945. Menghidupkan kembali nilai Pancasila juga
dipandang sebagai suatu agenda yang penting dan mendesak (Latif, 2015). Yudi Latif
menyatakan bahwa Pancasila sepatutnya tidak hanya diletakkan sebagai dasar tetapi
juga menjadi cara hidup atau the way of life terutama ketika karakter bangsa
Indonesia semakin tergerus oleh berbagai pandangan dan budaya yang menjauh dari
cita-cita bangsa.
Peletakan nama “Pancasila” merepresentasikan ideologi serta identitas bangsa
Indonesia. Dalam pidatonya di PBB terkait dengan ideologi bangsa-bangsa di dunia,
Bung Karno menyatakan: “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami
sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang
jauh lebih cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila” (Latif, 2015, p. 29). Oleh

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 36

karena itu, dengan mencantumkan “Pancasila” sebagai luaran sistem pendidikan
nasional, Pancasila tidak lagi sekadar menjadi dasar atau fondasi yang kokoh dari
pendidikan, tetapi juga sejalan dengan upaya menghidupkan Pancasila sebagai nilai-
nilai yang mengatur perilaku bangsa, dan sebagai arah yang memandu
perkembangan diri dan penguatan kompetensi seluruh pelajar di tanah air.
Pancasila adalah satu kata yang paling sesuai untuk merangkum seluruh karakter
dan kompetensi yang diharapkan untuk dimiliki setiap individu pelajar Indonesia.
Kajian yang menelaah berbagai dokumen terkait karakter dan kompetensi Abad 21 ini
juga mendapati bahwa nilai-nilai Pancasila selaras dengan kompetensi yang
dianjurkan masyarakat global (disampaikan dalam Bagian 2 laporan ini). Dengan
demikian, menjadi Pelajar Pancasila artinya menjadi pelajar yang memiliki jati diri
yang kuat sebagai bangsa Indonesia, yang peduli dan mencintai tanah airnya, namun
juga cakap dan percaya diri dalam berpartisipasi dan berkontribusi dalam mengatasi
masalah-masalah global.
Istilah “pelajar” atau learner digunakan dalam penamaan profil ini merupakan
representasi seluruh individu yang belajar. Istilah ini lebih inklusif daripada “siswa”
ataupun “peserta didik” yang hanya mewakili individu yang tengah menempuh
program pendidikan yang terorganisir. Menjadi pelajar sepanjang hayat (lifelong
learner) adalah salah satu atribut yang dinyatakan dalam Profil Pelajar Pancasila,
sehingga harapannya meskipun sudah tidak menjadi siswa lagi, sudah menamatkan
pendidikannya, seseorang dapat senantiasa menjadi pelajar. Profil ini juga tidak
menggunakan istilah “profil lulusan” (graduate profile). Selain karena seorang pelajar
sepanjang hayat tidak mengenal akhir atau ujung dari proses belajar, profil lulusan
memberi kesan bahwa karakter serta kemampuan yang dituju baru akan dicapai saat
seseorang lulus.
Dengan demikian, Profil Pelajar Pancasila adalah karakter dan kemampuan yang
sehari-hari dibangun dan dihidupkan dalam diri setiap individu pelajar. Karakter dan
kemampuan ini adalah perwujudan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan adanya Profil
Pelajar Pancasila, sistem pendidikan nasional menempatkan Pancasila tidak saja
sebagai dasar, tetapi juga ditempatkan sebagai tujuan yang utama. Dalam kerangka
kurikulum, misalnya, Profil ini berada di paling atas, menjadi luaran (learning
outcomes) yang dicapai melalui berbagai program dan kegiatan pembelajaran.
Penjelasan tentang peran Profil Pelajar Pancasila dalam kurikulum disampaikan
dalam

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 37

3. Karakter dan Kompetensi dalam Profil Pelajar Pancasila

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Profil Pelajar Pancasila memiliki enam
dimensi utama yaitu: 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
berakhlak mulia, 2) Mandiri, 3) Bernalar Kritis, 4) Kreatif, 5) Bergotong-royong, dan 6)
Berkebinekaan global. Enam dimensi tersebut kemudian dirangkum dalam satu
rangkaian profil yang tidak terpisahkan, sebagai berikut:
“Pelajar Indonesia merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi
global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila.”

Pernyataan profil dalam satu kalimat tersebut menunjukkan rangkuman tiga hal
besar, yaitu pelajar sepanjang hayat (lifelong learner), kompetensi global, dan nilai-
nilai Pancasila. Ketiganya adalah konsep yang sangat besar. Keenam dimensi di atas
dibutuhkan untuk membuat konsep-konsep besar tersebut lebih mudah untuk
dipahami serta lebih mudah untuk diobservasi perkembangannya. Konsep besar
pertama yang terkandung dari pernyataan tersebut adalah pelajar sepanjang hayat.
Menjadi pelajar sepanjang hayat membutuhkan kemandirian, di mana seseorang
mampu mengidentifikasi kebutuhannya untuk belajar, termotivasi, dan mampu untuk
mencari sumber dan menggunakan metode belajar yang sesuai dengan dirinya
(Wiggins & McTighe, 2011). Kemandirian ini pada hakikatnya merupakan visi
pendidikan yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Beliau menyatakan bahwa
pendidikan pada dasarnya adalah pembangunan karakter, sebagaimana yang
dituliskan berikut ini (2013, p.25):

Budi pekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak fikiran,
perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan
tenaga…. Dengan adanya „budi pekerti‟ itu tiap-tiap manusia berdiri
sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau
menguasai diri sendiri. Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud
dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.

Pernyataan Ki Hadjar Dewantara tersebut mengindikasikan bahwa kemandirian dan
upaya untuk senantiasa memerdekakan diri adalah tujuan yang ingin dicapai melalui
proses belajar sepanjang hayat. Pelajar sepanjang hayat juga membutuhkan
kemampuan bernalar kritis, karena mereka selalu terstimulasi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam benak mereka. Atas dasar itulah Selandia Baru
mendefinisikan pelajar sepanjang hayat dengan kemampuan literasi dan numerasi,
bernalar kritis dan kreatif, aktif mencari, memanfaatkan, dan menciptakan ilmu

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 38

pengetahuan dan teknologi, serta kemampuan mengambil keputusan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang logis.

Kompetensi global juga merupakan konsep besar yang memayungi banyak
kompetensi dan karakter. OECD (2018) mendefinisikan kompetensi global sebagai
berikut:

Kompetensi global adalah kapasitas untuk mempelajari isu-isu lokal,
global, dan interkultural, memahami dan menghargai perspektif dan
pandangan orang/kelompok lain, terlibat dalam interaksi yang terbuka,
pantas, dan efektif bersama orang-orang dari budaya yang berbeda,
serta bertindak untuk kesejahteraan bersama dan pembangunan yang
berkelanjutan.

Definisi tersebut menunjukkan bahwa bagian dari kompetensi global adalah
kemampuan untuk bernalar kritis dalam mempelajari isu-isu, berkomunikasi lintas
budaya, serta adanya dorongan untuk bergotongroyong mengambil peran untuk
kesejahteraan bersama. Kompetensi global juga bukan berarti mengabaikan
masalah-masalah lokal. Sebaliknya, seseorang yang memiliki kompetensi ini juga
peka akan isu-isu lokal, dan sadar akan adanya interaksi atau hubungan yang saling
mempengaruhi antara isulo kal dan global. Sehingga ia sadar bahwa perilakunya pun
dapat membawa dampak pada lingkungannya, baik terhadap lingkungan terdekat,
maupun pada konteks yang lebih besar.

Selanjutnya Profil Pelajar Pancasila juga menyatakan bahwa pelajar Indonesia juga
merupakan pelajar yang menerapkan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila ini
begitu menyeluruh, sehingga apabila individu dapat menerapkannya secara
konsisten, maka diyakini bahwa dampaknya akan berkontribusi pada kesejahteraan
sosial secara kolektif (Latif, 2015). Latif menjelaskan bahwa sila pertama hingga sila
kelima adalah suatu rumusan tentang visi Indonesia, baik visi tentang individu
maupun kolektif.

Sejalan dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara, dari perspektif Pancasila, pendidikan
dibutuhkan untuk membangun sikap merdeka, di mana seseorang bisa dan berani
berpikir, bersikap, dan bertindak secara berdaulat, bebas dari intervensi dan paksaan
pihak-pihak lain. Untuk menumbuhkan mental mandiri, dibutuhkan kemampuan
bernalar kritis dan kreatif. Kemandirian tersebut juga tidak hanya tentang mandiri
secara individual. Kemandirian kolektif bangsa Indonesia juga perlu diwujudkan, dan
dapat terwujud ketika setiap individu warga Indonesia bisa menunaikan kewajiban

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 39

publiknya secara amanah, jujur, dan bersih. Artinya, kemandirian kolektif ini
membutuhkan akhlak mulia setiap warga Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila
dalam kaitannya dengan pengembangan profil pelajar, mengandung nilai-nilai yang
begitu banyak sehingga Pancasila merangkum seluruh karakter dan kemampuan
yang perlu dimiliki setiap individu pelajar Indonesia. Setiap unsur dalam ekosistem
pendidikan perlu saling bersinergi untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila dengan
keenam elemennya tersebut.

4. Pengembangan Dimensi-Dimensi Profil Pelajar Pancasila

Berkaitan dengan pengembangan karakter Pancasila, Uchrowi (2013) berpendapat
bahwa karakter itu berkembang seperti spiral, yang disebutnya sebagai Spiral
Karakter. Perkembangan karakter tersebut diawali dengan keyakinan (belief) yang
menjadi landasan untuk berkembangnya kesadaran (awareness), yang selanjutnya
kesadaran ini membangun sikap (attitude) atau pandangan hidup, dan
tindakan/perbuatan (action). Hasil dari tindakan tersebut kembali akan mempengaruhi
keyakinan orang tersebut, yang selanjutkan akan Kembali mengembangkan
kesadaran, sikap, dan perilakunya. Perkembangan ini terus berulang dan
berkembang, seperti spiral.

Memahami bahwa karakter Pancasila berkembang seperti spiral, maka pendidikan
memiliki peran penting dalam menguatkan dan mengembangkan karakter yang
sama, misalnya menjadi pelajar yang mandiri, secara konsisten sejak dini terus
hingga anak memasuki usia dewasa. Hal ini juga selaras dengan fungsi pendidikan
yang dinyatakan dalam UU Sisdiknas Pasal 3, bahwa pendidikan nasional memiliki
fungsi untuk “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak”, atau
kompetensi dan karakter. Tahap-tahap perkembangan tersebut dibagi menjadi 4 fase
sebagai berikut.

Tabel 1. Fase Perkembangan Dimensi Profil Pelajar Pancasila

Fase Rentang Usia Jenjang Pendidikan pada Umumnya
Pondasi Sampai dengan 5/6 PAUD (terutama jenjang TK)
A tahun SD, umumnya kelas 1 - 3
B 6/7 – 9 tahun SD, umumnya kelas 4 - 6
C 10 – 12 tahun Umumnya SMP

13 – 15 tahun

D 16-18 tahun Umumnya SMA

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 40

Perkembangan setiap dimensi beserta elemen dan sub-elemennya disusun dalam
fase-fase tersebut. Elemen dan sub-elemen ini merupakan komponen-komponen
penting dari setiap dimensi, dan dinyatakan agar perkembangan setiap dimensinya
dari suatu fase ke fase berikutnya menjadi konsisten dan utuh, tanpa ada elemen
yang tertinggal. Berikut ini adalah penjelasan untuk setiap dimensi Profil Pelajar
Pancasila.

Elemen dan sub Elemen Dimensi Profil Pelajar Pancasila

A. PenugasBaneriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan
Berakhlak Mulia

Pelajar Indonesia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia
adalah pelajar yang berakhlak dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ia
memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan pemahaman tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari.

Elemen Kunci: beragama: Menerapkan
▪ Akhlak

pemahamannya tentang kualitas atau sifat-

sifat Tuhan dalam kehidupan

▪ Akhlak pribadi: Menyadari bahwa menjaga
dan merawat diri penting dilakukan
bersamaan dengan menjaga dan merawat
orang lain dan lingkungan sekitarnya

▪ Akhlak kepada manusia: Mengutamakan
persamaan dan kemanusiaan di atas
perbedaan serta menghargai perbedaan
yang ada dengan orang lain

▪ Akhlak kepada alam: Menyadari pentingnya merawat lingkungan sekitarnya
sehingga dia tidak merusak atau menyalahgunakan lingkungan alam, agar alam
tetap layak dihuni oleh seluruh makhluk hidup saat ini maupun generasi
mendatang

▪ Akhlak bernegara: Memahami serta menunaikan hak dan kewajibannya sebagai
warga negara yang baik serta menyadari perannya sebagai warga negara

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 41

Sub-elemen Sub-elemen
Elemen Kunci Mengenal dan Mencintai Tuhan Yang Maha Esa
Pemahaman Agama/Kepercayaan
Akhlak beragama Pelaksanaan Ajaran Agama/Kepercayaan
Integritas
Akhlak pribadi Merawat Diri secara Fisik, Mental, dan Spiritual
Mengutamakan persamaan dengan orang lain
Akhlak kepada manusia Menghargai perbedaan dengan orang lain
Berempati kepada orang lain
Akhlak kepada alam Menjaga Lingkungan
Akhlak bernegara Memahami Keterhubungan Ekosistem Bumi
Melaksanakan Hak dan Kewajiban sebagai Warga
Negara Indonesia

Berkebinekaan Global

Pelajar Indonesia mempertahankan budaya luhur, lokalitas dan identitasnya, dan tetap

berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain, sehingga menumbuhkan rasa

saling menghargai dan kemungkinan terbentuknya budaya baru yang positif dan tidak

bertentangan dengan budaya luhur

bangsa.

Mengenal Komunika Elemen Kunci Berkebinekaan Global:
dan si dan ▪ Mengenal dan menghargai
interaksi budaya. Pelajar Indonesia
menghargai antar mengenali, mengidentifikasi, dan
budaya budaya mendeskripsikan berbagai macam

Refleksi dan Merefleksi kelompok berdasarkan perilaku,
tanggung pemikiran jenis kelamin, cara komunikasi,
dan proses dan budayanya, serta
jawab terhadap mendeskripsikan pembentukan
pengalaman berpikir

kebinekaan.

identitas dirinya dan kelompok,

juga menganalisis bagaimana

menjadi anggota kelompok sosial di tingkat lokal, regional, nasional dan global.

▪ Komunikasi dan interaksi antar budaya. Pelajar Indonesia berkomunikasi
dengan budaya yang berbeda dari dirinya secara setara dengan memperhatikan,
memahami, menerima keberadaan, dan menghargai keunikan masing-masing
budaya sebagai sebuah kekayaan perspektif sehingga terbangun
kesalingpahaman dan empati terhadap sesama.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 42

▪ Refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan. Pelajar
Indonesia secara reflektif memanfaatkan kesadaran dan pengalaman
kebinekaannya agar terhindar dari prasangka dan stereotip terhadap budaya yang
berbeda, dengan mempelajari keragaman budaya dan mendapatkan pengalaman
dalam kebinekaan. Hal ini membuatnya menyelaraskan perbedaan budaya agar
tercipta kehidupan yang setara dan harmonis antar sesama;

▪ Berkeadilan sosial. Pelajar Indonesia peduli dan aktif berpartisipasi dalam
mewujudkan keadilan sosial baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Ia
percaya akan kekuatan dan potensi dirinya sebagai modal untuk menguatkan
demokrasi, untuk secara aktif-partisipatif membangun masyarakat yang damai dan
inklusif, berkeadilan sosial, serta berorientasi pada pembangunan yang
berkelanjutan.

Sub-elemen

Elemen Kunci Sub-elemen

Mengenal dan menghargai Mendalami budaya dan identitas budaya
budaya
Mengeksplorasi dan membandingkan pengetahuan
Komunikasi dan interaksi
antar budaya budaya, kepercayaan, serta praktiknya
Refleksi dan bertanggung
jawab terhadap pengalaman Menumbuhkan rasa menghormati terhadap
kebinekaan
keanekaragaman budaya
Berkeadilan sosial
Berkomunikasi antar budaya

Mempertimbangkan dan menumbuhkanberbagai

perspektif

Refleksi terhadap pengalaman kebinekaan

Menghilangkan stereotip dan prasangka

Menyelaraskan perbedaan budaya

Aktif membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan

pembangunan berkelanjutan

Berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan

bersama

Memahami peran individu dalam demokrasi

Kolabora Kepeduli Gotong Royong
si an
Pelajar Indonesia memiliki kemampuan gotong-
Berba royong, yaitu kemampuan untuk melakukan kegiatan
gi secara bersama-sama dengan suka rela agar
kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan lancar,
mudah dan ringan.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 43

Elemen Kunci Gotong Royong:
Kolaborasi: bekerja bersama dengan orang lain disertai perasaan senang ketika berada
bersama dengan orang lain dan menunjukkan sikap positif terhadap orang lain.
Kepedulian: memperhatikan dan bertindak proaktif terhadap kondisi atau keadaan di
lingkungan fisik sosial.
Berbagi: memberi dan menerima segala hal yang penting bagi kehidupan pribadi dan
bersama, serta mau dan mampu menjalani kehidupan bersama yang mengedepankan
penggunaan bersama sumber daya dan ruang yang ada di masyarakat secara sehat.

Sub-elemen Sub-elemen
Elemen Kunci Kerja sama
Komunikasi
Kolaborasi Salingketergantungan positif
Koordinasi
Kepedulian Tanggap terhadap lingkungan
Berbagi Persepsi social
Kesadaran social
Berbagi

Mandiri

Pelajar Indonesia merupakan pelajar mandiri, yaitu pelajar yang bertanggung jawab atas

proses dan hasil belajarnya.

Elemen Kunci Mandiri:

Kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi :

Kesadar Regulasi Melakukan refleksi terhadap kondisi dirinya dan situasi
an akan diri yang dihadapi dimulai dari memahami emosi dirinya
diri dan dan kelebihan serta keterbatasan dirinya, sehingga ia
situasi akan mampu mengenali dan menyadari kebutuhan
pengembangan dirinya yang sesuai dengan perubahan
yang
dihadapi

dan perkembangan yang terjadi.

Regulasi diri: mampu mengatur pikiran, perasaan, dan

perilaku dirinya untuk mencapai tujuan belajarnya.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 44

Sub-elemen Sub-elemen
Elemen Kunci Mengenali emosi dan pengaruhnya
Mengenali kualitas dan minat diri serta tantangan yang
Kesadaran diri dihadapi
Memahami strategi dan rencana pengembangan diri
Regulasi diri Mengembangkan refleksi diri
Regulasi emosi
Penetapan tujuan dan rencana strategis
pengembangan diri
Menunjukkan inisiatif dan bekerja secara mandiri
Mengembangkan pengendalian dan disiplin diri
Menjadi individu yang percaya diri, resilien, dan adaptif

Bernalar Kritis

Pelajar yang bernalar kritis mampu secara objektif memproses informasi baik kualitatif

maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis

informasi, mengevaluasi dan menyimpulkannya.

Elemen Kunci Bernalar Kritis:

Memperole Menganalis Memperoleh dan memproses informasi dan
h is gagasan: memiliki rasa keingintahuan, mengajukan
dan pertanyaan yang relevan, mengidentifikasi dan
dan mengklarifikasi gagasan dan informasi yang
mengevalua diperoleh, serta mengolah informasi tersebut.
memprose si Menganalisis dan mengevaluasi penalaran: dalam
s pengambilan keputusan, menggunakan nalarnya

Merefleks
i

pemikiran
dan proses

berpikir:

sesuai dengan kaidah sains dan logika dalam pengambilan keputusan dan tindakan

dengan melakukan analisis serta evaluasi dari gagasan dan informasi yang ia dapatkan.

Merefleksi pemikiran dan proses berpikir: melakukan refleksi terhadap berpikir itu

sendiri (metakognisi) dan berpikir mengenai bagaimana jalannya proses berpikir tersebut

sehingga ia sampai pada suatu simpulan.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 45

Sub-elemen Sub-elemen
Elemen Kunci Mengajukan pertanyaan
Mengidentifikasi, mengklarifikasi, dan mengolah
Memperoleh dan memproses informasi dan gagasan
informasi dan gagasan Penalaran untuk menyelesaikan masalah

Menganalisis dan mengevaluasi Metakognisi
penalaran dan prosedurnya Merefleksi proses berpikir
Refleksi pemikiran dan proses
berpikir

Kreatif

Pelajar yang kreatif mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal,

bermakna, bermanfaat, dan berdampak.

Elemen Kunci Kreatif:

Menghasilkan gagasan yang orisinal:

Menghasilk Menghasilka menghasilkan gagasan yang terbentuk dari hal
an karya n gagasan paling sederhana, seperti ekspresi pikiran dan/atau
dan yang perasaan, sampai dengan gagasan yang kompleks
tindakan orisinal untuk kemudian mengaplikasikan ide baru sesuai
yang dengan konteksnya guna mengatasi persoalan dan

orisinal

memunculkan berbagai alternatif penyelesaian.

Menghasilkan karya dan tindakan yang

orisinal: menghasilkan karya yang didorong oleh

minat dan kesukaannya pada suatu hal, emosi yang ia rasakan, sampai dengan

mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan sekitarnya.

Sub-elemen

Elemen Kunci Sub-elemen

Menghasilkan gagasan yang
Menghasilkan gagasan yang orisinal

orisinal

Menghasilkan karya dan Menghasilkan karya dan tindakan yang orisinal
tindakan yang orisinal

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 46

Profil Pelajar Pancasila dan Kurikulum
Profil Pelajar Pancasila berperan menjadi kompas atau north star yang memandu proses
rancangan kurikulum, pembelajaran, dan asesmen. Dari perspektif penyusunan
kurikulum, Profil Pelajar Pancasila adalah tujuan besar (aim) atau aspirasi yang perlu
dicapai, atau yang disebut juga dengan long-term outcomes (luaran jangka panjang).
Posner (2004) membagi luaran kurikulum menjadi dua, luaran jangka pendek dan jangka
panjang. Luaran jangka pendek biasanya berupa standar capaian pembelajaran yang
diraih setelah siswa mengikuti kegiatan belajar atau mata pelajaran. Sementara luaran
jangka panjang, menurut Posner, adalah (p.250):

… what students remember and can do with their knowledge well after the
details of the course are forgotten, students’ attitudes toward the subject matter,
…. Obviously, it is long-term outcomes that ultimately matters most.
[ … apa yang siswa ingat dan dapat mereka lakukan dengan pengetahuan
mereka setelah hal-hal spesifik dari mata pelajaran sudah mereka tidak ingat
lagi, sikap mereka terhadap materi pelajaran, …. Tentu saja luaran jangka
panjang (dari kurikulum) ini lah yang paling berarti.]

Perancangan kurikulum yang berorientasi pada pencapaian Profil Pelajar Pancasila itu
tidak cukup hanya mengandalkan proses belajar-mengajar dalam program intrakurikuler.
Capaian dalam setiap mata pelajaran penting untuk dirancang, namun fokus pada
rancangan ini saja tidak cukup. Kemampuan-kemampuan yang merupakan luaran jangka
panjang tersebut perlu dibangun melalui berbagai pengalaman belajar, baik melalui mata
pelajaran (program intrakurikuler), kegiatan pendukung kurikulum (ko-kurikuler), maupun
kegiatan ekstrakurikuler.

Posisi Profil Pelajar Pancasila sebagai kompas dan luaran jangka panjang tersebut
ditunjukkan dalam kerangka kurikulum (curriculum framework) berikut ini.

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 47

Gambar 1. Kerangka Kurikulum
Gambar 1. menunjukkan bahwa Profil Pelajar Pancasila berada di puncak perancangan
kerangka kurikulum nasional dan juga kurikulum yang dikembangkan oleh satuan
pendidikan. Berperan sebagai kompas, Profil Pelajar Pancasila menjadi pertimbangan
tentang Capaian Pembelajaran yang perlu diraih setiap siswa melalui ragam kegiatan
pembelajaran. Capaian Pembelajaran inilah yang disebut Posner sebagai short-term
outcomes atau luaran jangka pendek. Capaian Pembelajaran ini berkaitan dengan
kompetensi mata pelajaran, namun juga diarahkan untuk mencapai Profil Pelajar
Pancasila.
Tidak semua dimensi harus dimasukkan dalam setiap mata pelajaran. Sebagai contoh,
dimensi “beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia” tidak dipaksakan
untuk menjadi Capaian Pembelajaran mata pelajaran matematika. Secara keilmuan, mata
pelajaran matematika tidak mengarah pada tujuan tersebut, sehingga tidak menjadi
Capaian Pembelajaran Matematika. Namun demikian, ia dapat dipelajari melalui proses
atau kegiatan belajar matematika di kelas, misalnya ketika guru mengingatkan siswa
untuk tidak menyontek karena perilaku tersebut bertentangan dengan akhlak mulia. Selain
itu juga Profil Pelajar Pancasila juga mempengaruhi prinsip-prinsip pembelajaran dan
asesmen.
Fase-fase yang dijelaskan untuk setiap dimensi dan elemen Profil Pelajar Pancasila
berguna sebagai referensi sekolah untuk merancang pembelajaran dan juga
pengembangan budaya sekolah yang mendukung. Namun demikian, fase-fase tersebut
dirancang berdasarkan perkembangan anak pada umumnya, tidak berarti setiap atau
semua anak di usia kronologis yang sama, akan mencapai fase yang sama. Oleh karena

Pembentukan Karakter Kepala Sekolah 48


Data Loading...